RSS

CINDELARAS


H
ai adik- adik, ada yang yang mau mendengarkan kakak bercerita ?
Alkisah di zaman dahulu kala ada sebuah negeri yang terkenal bernama negeri Purwacarita, dan tengah menyelenggarakan penobatan Panji Putera menjadi maharaja menggantikan ayahandanya. Pesta pora berlangsung meriah. Tidak ketinggalan adu ayam jago diadakan karena merupakan kesukaan Sri Baginda Panji Putera. Sementara itu, di pintu gerbang istana ada seorang wanita hamil yang ingin bertemu dengan Sri Baginda. “ Cepat pergi dari sini,sebentar lagi Sri Baginda akan melalui pintu gerbang ini,”bentak seorang pengawal kepada wanita hamil itu.
Tak lama kemudian Sri Baginda Panji Putera melalui pintu gerbang istana. Ia terperanjat, melihat seorang wanita hamil mendekatinya.
“Pangeran Panji Putera, anak yang kukandung ini adalah anakmu !” teriak wanita hamil itu. Wanita itu mengaku bernama Ratnasari. Sri Baginda Panji Putera tidak memperdulikan sedikitpun. Bahkan ia memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membuang wanita itu ke hutan belantara.

Ratnasari tinggal di hutan. Semakin hari kandungannya semakin besar. Suatu hari ia duduk di depan gubuknya, tiba- tiba seekor elang sedang mencekram seekor anak ayam terbang di atas kepala Ratnasari. Anak ayam tersebut lepas dari cengkramannya, dan tepat jatuh di pangkuan Ratnasari.
“Kasihan sekali anak ayam ini,” gumam Ratnasari. Karena merasa kasihan anak ayam itu lalu dipelihara.

Adik- adik yang baik hatinya, tibalah saatnya Ratnasari untuk melahirkan. Ia melahirkan seorang anak yang tampan dan elok rupanya. Anak ayamnya pun menjadi seekor ayam jantan yang siap tarung. Apabila berkokok selalu diikuti dengan suara “ Aku jagonya Cindelaras, Ibunya dibuang ke tengah hutan, sedangkan ayahnya bertahta di istana”.
Lalu Ratnasari memberi nama Cindelaras kepada anaknya.

Beberapa tahun kemudian, Cindelaras semakin dewasa dan ia ingin mencari ayahnya.
“Jangan pergi, anakku. Ibu kuatir kau celaka” kata ibunya sambil memandang Cindelaras yang menunjukkan tekad besar ingin berjumpa ayahnya.

“Ayam ajain, anugerah Deata, ayam elang putih,” gumam Cindelaras sambil melangkahkan kakinya menuju istana. Ibunya sangat kebingungan karena Cindelaras sudah tidak dapat dihalangi lagi. Tibalah Cindelaras di istana dengan membawa elang putih, dan langsung masuk ke gelangang persabungan ayam.
“Ayam sabungan Sri Baginda tidak ada tandingannya!” kata seorang pengawal kerajaan sambil mengejek. Sang Pengawal menyarankan agar Cindelaras mencari lawan ayam yang lain. Namun, Cindelaras tetap mendesak ingin melawan ayam jago milik Sri Baginda Panji Putera.

“Ooh, jadi kau yang bernama Cindelaras?” tanya Sri Baginda kepada Cindelaras. “ Ya, hamba Cindelaras,” jawabnya. Cindelaras menantang ayam jago Sri Bagunda dengan taruhan, kalau ayamnya kalah sebagai taruhannya adalah batang lehernya. Sedang Sri Baginda mempertaruhkan Istana Kerajaan. Sebagai lawan tanding ayam jago Cindelaras, Sri Baginda memilih ayam jago bernama Kobra. Terjadilah pertarungan seru. Namun, hanya beberapa gebrakan saja ayam jago Sri Baginda langsung mati.

“Sekarang akan kupilih ayam andalanku. Ayam sapu Jagad,” kata Sri Baginda sambil memegang ayam jago kesayangannya. Pertarungan pun berlangsung menegangkan. Ayam Sapu Jagad pun mengalami nasib sama seperti ayam kobra. Sri Baginda tetap penasaran, sehingga ia mengadu semua ayam jagonya. Dan tak seekor pun yang dapat mengalahkan ayam Elang Putih milik Cindelaras.

“Aku kalah, dan sekarang kuserahkan istanaku kepadamu,” kata Sri Baginda Panji Putera lunglai. Namun Cindelaras tidak mau menerimanya.
“Tidak pantas Negara dipertaruhkan dalam sabung ayam,” katanya. Mendengar itu Sri Baginda terkesiap dan ingin tahu asal- usul Cindelaras. Sri Baginda baru sadar bahwa Cindelaras adalah anaknya, dan Ratnasari Ibu Cindelaras adalah istrinya.
Akhirnya mereka berkumpul dan hidp bahagia di Istana Purwacarita.

T
idak ada seorangpun yang luput dari kesalahan maupun kekhilafan. Namun untuk menyadarinya diperlukan suatu perbuatan yang nyata dan mau mengakui kesalahan yang pernah dibuat.

Polo Padang


“H
alo adik- adik. Bagaimana dengan nilai sekolah kalian ? Kakak harap kalian belajar yang rajin ya… Sebagai hadiahnya kakak mau bercerita. SIlahkan membacanya !”

Konon dahulu kala di Tanah Toraja hidup seorang anak muda namanya Polo Padang. Ia hidup di tengah hutan sebagai petani yang sangat ulet dan terampil sehingga apa saja yang ditanamnya tumbuh dengan subur. Maka tidak mengherankan, bila hasil ladangnya melimpah setiap panen. Suatu ketika, Polo Padang sangat heran. Menjelang panen, tanaman di kebunnya selalu di petik lebih dahulu oleh orang yang tidak diketahui. Untuk dapat mengetahui siapa pencurinya, Polo Padang memutuskan untuk bermalam di pondok di tengah kebunnya. Semalam suntuk ia mengamati dari dalam pondoknya untuk mengetahui siapa sebenarnya yang selalu menghabiskan tanamannya. Namun sampai pagi, pencuri tidak juga datang.

Ketika matahari telah terbit dari ufuk timur, dia bermaksud mau menghilangkan rasa kantuknya dengan tidur sebentar di pondok. Namun baru saja berbaring, Polo Padang menyaksikan tiga gadis cantik turun dari langit melalui pelangi. Ketiga gadis cantik itu langsung menuju kebun Polo Padang. Sementara gadis- gadis itu asyik memetik jagung, Polo Padang tidak berani langsung menegur tetapi ia hanya mengintip dari lubang dinding pondok. Setelah puas memetik jagung ketiga gadis itu lalu mandi di pancuran yang ada di tengah kebun Polo Padang. Polo Padang pun mulai menyusun strategi untuk dapat menangkap ketiga gadis yang turun dari langit itu. Polo Padang lalu mendekati pancuran tempat gadis- gadis itu mandi. Dengan perlahan, ia mengambil pakaian salah seorang gadis dan menyembunyikannya.
Ketika selesai mandi, ketiga gadis itu bermaksud kembali ke langit dengan membawa hasil lading yang telah dipetik dari Kebun Polo Padang. Namun apa yang terjadi, mereka kaget karena pakaian salah seorang temannya telah hilang. Polo Padang tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menolong dan mengngkapkan isi hatinya,” Karena kamu yang selalu menghabiskan tanaman yang ada di kebun saya, sebagai balasannya , aku akan mengawinimu,” kata Polo Padang. “ Rasanya tidak mungkin orang dari langit menikah dengan orang di bumi. Manusia di bumi sering mengucapkan kata- kata tabu dan kotor, yang bagi kami sangat dilarang,” kata gadis itu. “ Aku akan berjanji untuk tidak mengucapkan sepatah kata kotor pun selama kita hidup bersama,” janji Polo Padang kepada gadis itu. Dan akhirnya mereka pun menikah.

Setelah setahun mereka menjalani hidup sebagai suami istri, mereka dikaruniai seorang putera namanya Pairunan. Ketika Pairunan berumur 3 tahun, ia minta ayahnya untuk dibuatkan mainan yaitu gasing. Ia sangat menggemari mainan itu. Hampir tiap hari ia mainkan. Pada suatu hari Pairunan sedang main gasing di kolong rumah sedangkan Polo Padang sedang membelah kayu api di halaman rumah. Karena kurang hati- hati, kampak terpeleset dan mengenai kakinya. Saat itu, secara tidak sadar, Polo Padang mengucapkan kata- kata kotor yang merupakan pantangan. Istrinya yang sedang menenun di atas rumah, mendengar dan langsung berhenti menenun.

Adik- adik, lalu apa yang terjadi ? Tanpa pamit, istrinya langsung kembali ke langit bersama anak satu- satunya. Polo Padang sangat menyesali perbuatannya itu. Polo Padang jadi pengembara, ia pergi tanpa tujuan, dan baru berhenti ketika tiba di tepi pantai dan menangis sekuat-kuatnya. Pada saat itulah muncul seekor Tedong Bulan ( kerbau putih ). Polo Padang mengutarakan keinginannya menyebrang lautan untuk bertemu dengan anak dan istrinya. Karena terharu Kerbau Putih bersedia mengantarkannya, tetapi dengan satu syarat” Seluruh keturunannu tidak boleh makan daging kerbau putih. Apabila dilanggar, seluruh anak cucumu akan menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan.”ucap Kebau Putih. Polo Padang menerima tawaran itu.

Sampailah Polo Padang di sebuah pulau kecil. Pada malam hari, ia melihat bulan purnama yang sangat dekat dengan bumi. Ia minta Bulan Purnama untuk mengantarkan menemui anak dan istrinya. Bulan Purnama sangat terharu dan bersedia mengantarkan Polo Padang, tetapi hanya bisa sampai ke langit lapisan pertama, untuk melanjutkan ke langit ketujuh hanya bisa dilakukan oleh bintang- bintang di langit.
“Dapatkah bintang menolong saya dengan mengantar saya samapi ke lapisan langit ketujuh ?” Kami memang akan ke langit lapisan tujuh, namun saying kami ini terlalu cepat, kamu pasti tidak tahan. Mendengar jawaban itu. Polo Padang putus asa dan menangis. Dalam keadaan putus asa, muncullah bintang- bintang yang lain.
“Polo Padang, jangan mennagis dan putus asa. Marilah ikut kami, kami rela mengantar sampai ke lapisan langit ketujuh”.

Sampai ke langit ketujuh, ia berjumpa dengan gadis-gadis yang sedang mengambil air untuk persiapan pesta. Raja membuat pesta yang sangat meriah sebagai rasa syukur dan terima kasih atas kembalinya anak yang dia sayangi. Secara diam- diam, Polo Padang memasukkan gasing ( mainan Pairunan, anaknya yang sangat disayangi). Sesampainya di sana, gadis- gadis itu menuangkan air itu ke dalam sumur tempat Pairunan mandi bersama ibunya. Ketika ia mau mandi, Pairunan dan ibunya kaget melihat gasing milik Pairunan ada dalam sumur. Maka ia segera memanggil gadis yang membawa air itu dan menanyakan dari mana ia mendapatkan gasing itu. Akhirnya Polo Padang dijemput untuk dipertemukan dengan raja, dan menceritakan kejadiannya. Raja memberi 3 syarat kalau ingin bertemu dengan anak dan istrinya.

Polo Padang harus memenuhi beberapa syarat antara lain :
1.    Harus mengambil air sungaii dengan keranjang
2.    Menebang pohon kenari sebanyak satu lembah
3.    Menebak istrinya di tempat gelap di antara sekian banyak wanita.
Polo Padang menerima syarat itu. Maka ia segera menjalankannya.Walau semua syarat mustahil bisa dilakukan, tetapi berkat bantuan dari belut yang menutup keanjang untuk mengambil air, angin topan yang menumbangkan seluruh pohon kenari yang ada di lembah itu, dan seekor kunang- kunang yang hinggap disanggul istrinya di antara gadis- gadis lainnya dalam  kegelapan. Akhirnya Polo Padang menghadap Raja untuk melaporkan keberhasilannya.

Tuhan telah menjodohkan anakku yang bungsu dengan manusia dari bumi namanya Polo Padang. Karena itu, Tuhan telah mempersatukan kembali dan mereka bertiga kembali ke bumi. Mereka turun dari langit melalui pelangi. Mereka inilah yang dalam cerita kuno di Toraja itu  disebut “ To Manurun” artinya orang yang turun dari langit. Itu pula sebabnya, setiap orang Toraja dilarang menunjuk pelangi dengan memakai jari. Bila ini dilanggar, jari- jari itu akan membusuk sampai habis. Pelangi bagi orang Toraja merupakan tanda kehadiran dewa dari langit yang datang minum air di bumi.

W
ah, seru ya adik-adik ceritanya. Di sini kita belajar 3 hal ya, adik- adik, yaitu :
1.   Keuletan dan kemauan bekerja keras akan membawa manfaat besar.
2.   Dalam ketidakberdayaan, sesama dan makhluk lain bisa menjadi inspirasi 
                untuk keluar dari kesulitan.
       3.  Ketidaktaatan pada janji akan membawa malapetaka dan kehancuran.

Asal Mula Bukit Catu


A
lkisah di Pulau Bali terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan ladangnya selalu memberi hasil yang melimpah. Di desa tersebut tinggal seorang petani yang bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka menginginkan hasil panen padinya lebih banyak dari yang sebelumnya.
“Mhh, sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita berkaul,” usul Pak Jurna kepada istrinya.
“Berkaul apa, pak ?” sahut bu Jurna
“Begini. Jika hasil panen padi nanti meningkat, kita buat tumpengan nasi besar,”ujar pak Jurna penuh harap. Ibu Jurna setuju.

Ternyata hasil panen padi pak Jurna meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah diucapkan, lantas pak Jurna dan istrinya membuat tumpeng nasi besar. Selain itu mereka mengadakan pesta. Namun, pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang diperoleh. Mereka ingin berkaul lagi di musim padi berikutnya.
“Sekarang kita berkaul lagi. Jika hasil panen padi nanti lebih meningkat, kita akan membuat tiga tumpeng nasi besar- besar,”  ujar pak Jurna yang didukung istrinya. Mereka pun ingin mengadakan pesta lebih meriah daripada pesta sebelumnya.

Ternyata benar- benar tejadi. Hasil panen padi lebih meningkat lagi. Mereka segera memenuhi kaul yang telah mereka ucapkan. Mereka membuat tiga buah tumpeng nasi besar- besar. Pesta lebih meriah dari sebelumnya.
“Sebaiknya, kita berkaul agar hasil panen padi pada musim berikutnya berlimpah ruah dan ternak kita semakin banyak,” kata pak Jurna lebih jauh. Lantas mereka berkaul, mereka membuat tumpeng nasi besar- besar sebanyak lima buah.

Terjadilah apa yang diinginkan pak Jurna. Hasil panen padi dan ternaknya semakin berlimpah ruah. Lagi diadakan pesta besar- besaran. “ Suatu anugerah dari sang dewata, apa yang kita mohon dap berhasil,” ujar pak Jurna. Ia masih menginginkan hasil panen dan hasil ternak yang lebih banyak lagi. Ia merasa tidak puas dengan apa yang diraihnya.

Di suatu pagi yang cerah, pak Jurna ke sawah. Lalu ia melihat ada sesuatu yang aneh.
“Onggokan tanah sebesar catu?”tanyanya dalam hati. “Perasaanku onggokan tanah ini kemarin belum ada,”gumam pak Jurna smbil mengingat- ingat. Catu adalah alat penakar beras dari tempurung kelapa. Setelah mengamati onggokan tanah itu, pak Jurna segera melanjutkan perjalanan mengelilingi sawahnya. Setelah itu, ia pulang ke rumah.

Setelah tiba di rumah, pak Jurna menceritakan apa yang dilihat di lahan sawah kepada istrinya. Ia segera mengusulkan agar membuat catu nasi seperti yang dilihatnya di sawah. Ibu Jurna mendukung rencana yang dibuat suaminya.
“Begini,pak. Kita buat beberapa catu. Dengan begitu maka panenan kita akan berlimpah ruah, sehingga dapat melebihi panen orang lain,”  usul bu Jurna. Betapa gembiranya hati pak Jurna mendapat tanggapan baik dari istrinya. Dan mulailah berkaul.

Ternyata hasil panen padi berlimpah ruah. Lumbung padi penuh. Para tetangga pak Jurna takjub melihat hasil panen yang tiada bandingnya itu. “Pak Jurna itu petani ulung,”
Kata seorang lelaki setengah baya kepada teman-temannya.
“Bukan petani ulung tetapi petani beruntung,” timpal salah satu temannya sambil tersenyum. Pak Jurna dan istrinya lantas membuat beberapa catu nasi. Pesta pora segera dilaksanakan meriah.Beberapa nasi catu segera dibawa ke tempat sebuah catu tanah yang semakin besar ini.
“Baik. Aku akan membuat nasi catu seperti catu tanah yang semakin besar ini,” tekad pak Jurna bernada sombong. Pak Jurna segera pulang ke rumah dan memerintahkan istrinya agar segera membuat sebuah catu nasi yang lebih besar.

Sebuah catu nasi yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung dan diiringi gemerciknya air sawah, pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah tiba di tempat, pak Jurna terperanjat.
“Astaga! Catu semakin besar dan tinggi!” pekiknya.
“Tak apalah. Aku masih mempunyai simpanan beras yang dapat dibuat sebesar catu ini”ujar paj Jurna tinggi hati.

Begitulah yang terjadi. Setiap pak Jurna membuat catu nasi lebih besar, ternyata onggokan tanah yang berupa catu bertambah besar dan tinggi. Lama-kelamaan pak Jurna dan istrinya menjadi panic. Karena beras yang dibuat catu semakin menipis. Apalagi catu itu membentuk bukit. Pak Jurna dan istrinya pasrah. Mereka tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Lantas, apa yang terjadi?
Pak Jurna jatuh miskin karena ulahnya sendiri. Akhirnya catu berupa onggokan tanah yang telah berubah menjadi bukit dinamai Bukit Catu.

J
anganlah kita mengikuti keinginan yang tidak mungkin kita jangkau. Kalau hal ini terjadi, maka bisa dikatakan memaksakan kehendak. Syukurilah apa yang sekarang berada dalam geggaman. Peliharalah baik- baik, sehingga tidak ditelan olrh kesombongannya sendiri.

Arya Panansang


K
Erajaan Pajang mencapai kejayaannya semasa pemerintahan Sultan Adiwijaya. Daerah- daerah pesisir dan wilayah timur menyatakan tunduk kepada kekuasaanya Pajang. Hanya Adipati Jipang yang bernama Arya Panangsang tidak mau tunduk kepada kedaulatan Pajang. “ Kita harus segera menundukkan Arya Panansang,” kata Sultan Adiwijaya dalam musyawarah Kerajaan yang dihadiri para penasihatnya, Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjawi, Ki Juru Martani dan Ngebei Loring Pasar.
Dari hasil musyawarah Kerajaan disarankan agar Sultan Adiwijaya yang sedang bertapa di Bukit Danaraja. “Tekadku bertapa ini baru akan berakhir bila Arya Panansang sebagai pembunuh suamiku dan saudaraku telah mati,” ujar Ratu Kalinyamat berjanji, bila Sultan Adiwijaya dapat mengalahkan Arya Panasang maka akan diberi hadiah wilayah dan harta benda Kerajaan Kalinyamat.

“Barangsiapa yang dapat mengalahkan Arya Panangsang dari Jipang akan diberi hadiah wilayah dan harta benda Kerajaan Kalinyamat,” seru prajurit  kerajaan yang mengumunkan sayembara. Namun setelah beberapa hari berjalan, ternyata tidak seorangpun berani mengikuti sayembara. Mereka merasa tidak mampu mengalahkan Arya Panangsang yang terkenal sakti mandraguna.
Para penasihat Kerajaan Pajang mengadakan sidang, untuk mencari jalan keluar guna mengalahkan Arya Panangsang.  “ Kita tahu sifat dan watak Arya Panangsang, dia pemberani, tetapi cepat naik darah. Nah, kita buat surat tantangan perang untuknya, yang seolah-olah surat tantangan itu  berasal dari Kanjeng Sultan Adiwijaya, tapi ingat kita harus berhati- hati dan waspada,” usul Ki Juru Martani.
Pada suatu hari, penasihat Kerajaan Pajang bersama prajurit berangkat je sebuah Bengawan bernama Bengawan Caket. Ki Ageng Pamanahan melihat seorang Abdi Jipang sedang memotong rumput, maka langsung ditubruknya. Telinga sebelah kanan Abdi itu dipotong dan digantungi surat tantangan perang yang ditujukan kepada Arya Panangsang.
“Nah, sekarang kau segera menghadap Gustimu Arya Panagsang keparat itu ! Cepat !” bentak Ki Ageng Pamanahan.

Arya Panangsang yang menerima surat tantangan, ketika itu sedang bersantap. “ Sultan Pajang keparat ! Dia berani menantangku !” geram Arya Panansang dengan bibir gemetar  dan mata merah menyala. Piring berisi makanan dibanting pecah berantakan.
“Cepat siapkan pakaian perang dan tombak Dandang Mungsuh !” perintah Arya Panansang kepada pengawalnya, seperti tidak dapat menahan kesabarannya.
Karena kemarahannya sudah memuncak, Arya Panansang tidak sudi mendengarkan nasihat dari Patih Ki Mataun, agar ia dapat mengenadalikan dirinya. “Diam! Jangan cerewet ! Aku tidak gentar menghadapi Sultan Pajang si laknat itu !” bentak Arya Panansang kepada PAtih Ki Mataun, sambil meloncat dan lari secepat kilat dengan kuda Gagak Rimang kesayangannya.
“Benar dugaanku Arya Panansang datang seorang diri, taktik kita berhasil,” kata juru Martani dengan bangga. Saat itu, pasukan Pajang yang telah siap dengan berbagai senjata menyerang Arya Panansang yang sedang menyebrang Bengawan. Namun Arya Panansang tidak bergeming sedikitpun. Dia tetap menyebrang Bengawan dengan sekuat tenaga agar dapat menghabisi Sultan Adiwijaya.

Setelah sampai di Bengawan, Arya Panangsang dikeroyok pasukan Pajang. Arya Panangsang mengamuk dengan menggunakan senjata tombak Dandang Mungsuhnya yang sakti. Banyak pasukan yang gugur di tangan Arya PAnangsang.
“Hai, tikus- tikus  Pajang, mana Sultan keparat itu ! Aku ingin segera membenku batang lehernya !” serunya. Di tengah – tengah pertempuran seru itu, tiba- tiba ada mata tombak  yang berkilat- kilat menghujam lambungnya. Ususnya keluar, lalu disangkutkannya usus itu ke gagang keris yang terselip dipunggungnya, laksana rangkaian kembang melati di keris pengantin. Namun ia tetap mengamuk. Ngabei Loring Pasar segera  mengarahkan tombak Kyai Plered di tengah dada Arya PAnansang dan ia pun jatuh tersungkur.
“ Hei anak muda ! Terimalah keris saktiku !” ancam Arya Panansang sambil menghunus keris yang terselip di punggungnya. Tapi, mata keris itu mengiris usus yang tersampir di gagangnya. Maka putuslah usus Arya Panansang  dan ia pun gugur di medan laga. Sultan Adiwijaya lega hatinya. Berita tentang kematian Arya Panansang segera disampaikan kepada Ratu Kalinyamat yang masih bertapa di bukit Danaraja. Hadiah berupa wilayah dan harta benda Kerajaan Kalimnyamat diserahkan kepada yang berhak.

K
eserakahan, kemunafikan, kesombongan dan keangkuhan akan kalah dengan kebijaksanaan, dan keberanian yang bertanggung jawab. Itulah inti cerita di atas.

Demikianlah adik- adik akhir cerita dari kisah ini.


DAMARWULAN


A
lkiasah terdapat sebuah desa, yang letaknya terpencil jauh dari Negeri Majapahit. Di sana tinggal seorang Brahmana bernama Begawan Tunggulmanik. Ia hidup bersama cucunya yang bernama Damarwulan.
“Cucuku, pergilah engkau ke kota Raja Majapahit,” kata Begawan Tunggulmanik kepada Damarwulan. Damarwulan yang elok parasnya menyambut permintaan Kakeknya dengan penuh keraguan. Namun Begawan Tunggulmanik menyarankan supaya Damarwulan menyarankan supaya Damarwulan menemui pamannya yang bernama Logender yang pada saat itu menjabat sebagai Patih di Kerajaan Majapahit.
Damarwulan dengan berat hati meninggalkan desa tercintanya. Pada suatu hari ia tiba di kota Raja Majapahit dan sampai di kediaman Patih Logender. “Hmm, kau yang bernama Damarwulan?”tanya Patih Logender. “ Ya,paman,”jawab Damarwulan. Damarwulan menceritakan asal-usulnya dengan jelas. Tapi Layang Seta dan Layang Kumitir kedua anak laki-laki Patih Logender tidak mengakui Damarwulan sebagai saudara mereka. Namun anak yang ketiga  Patih Logender, yang bernama Dewi Anjasmara menanggapinya dengan penuh perhatian. Bahkan Dewi Anjasmara jatuh cinta kepada Damarwulan, dan akhirnya mereka menikah.
Dibalik itu, Negeri Majapahit yang pada saat itu dipimpin oleh Ratu Kencanawungu sedang mengalami kemelut. Tingkah polah Adipati Minakjingga dari Kadipaten Blambangan semakin menjadi- jadi. Ia bertekad mempersunting Ratu Kencanawungu, akan tetapi Ratu Kencanawungu memanggil Patih Logender untuk membicarakan hal itu.
“Paman PAtih menurut petunjuk yang saya dapat, yang mampu mengalahkan Minakjingga adalah seorang pemuda dari desa, ia bernama Damarwulan,” ungkap Ratu Kencanawungu kepada Patih Logender.
Karena tahu bahwa Damarwulan adalah anak menantu Patih Logender, Ratu Kencanawungu minta agar ia mengikhlaskan anak menantunya pergi berjuang melawan Minakjingga.
“Sri Ratu Kencanawungu mengirimkan seorang Kesatria Rupawan!” bisik-bisik orang yang membicarakan Damarwulan yang pada saat itu melangkah melewati Pintu Gerbang Kerajaan. Kabar itu begitu cepat tersiar ke seluruh pelosok Blambangan. Akhirnya berita itu pun sampai ke telinga Adipati Minakjingga. Ia ingin segera mengetahui berita yang disampaikan oleh Damarwulan.

Setelah sampai di Blambangan. Damarwulan segera menghadap Minakjingga. Ia menantang Adipati Minakjingga untuk perang tanding. Adipati Minakjingga menerima tantangan itu dan menganggap remeh kekuatan Damarwulan.
Terjadilah perang tanding di alun-alun. “Aku utusan Sri Ratu Kencanawungu datang kemari untuk membunuhmu!” tantang Damarwulan dengan gagah berani.
Minakjingga yang mendengar tantangan itu tidak  sabar lagi menghabisi Damarwulan. Dan sekali hantam dengan gada besi kuning, Damarwulan jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

“Maaf Tuanku,pertempuran yang baru saja berlangsung sungguh tidak seimbang. Tuanku begitu kuat, sedangkan anak muda ini tidak mempunyai kemampuan melawan, tolong maafkan dia Tuanku,” mohon Wahita dan Puyengan kedua selir Minakjingga mengiba.
Tetapi Minakjingga tetap pada pendiriannya, bahwa siapapun yang melawan tetap akan dibasmi, apalagi utusan Majapahit. Akan tetapi Wahita dan Puyengan terus memohon agar Damarwulan dibiarkan hidup.

Mendengar permohonan kedua selirnya, Minakjingga bersedia meninggalkan Damarwulan yang pada saat itu dalam keadaan pingsan. Sementara itu Wahita dan Puyengan berusaha merawat dan menyadarkan Damarwulan. Setelah Damarwulan sadar, Wahita dan Puyengan menyampaikan isi hatinya bahwa mereka pun tidak senang menjadi selir Minakjingga.
“Kalau begitu, bagaimana caranya agar aku bisa membunuhnya?” tanya Damarwulan kepada kedua wanita itu.

Kedua wanita itu membeberkan rahasia kekuaran Minakjingga yang hanya bisa dibunuh dengan Pusaka andalannya Gada Besi Kuning. Dan mereka berjanji untuk membantu mencuri pusaka Gada Besi Kuning tersebut.
Setelah Minakjingga dapat mengalahkan Damarwulan, ia berpesta pora makan dan minum sebanyak-banyaknya. Dan akhirnya ia langsung tertidur pulas.
“Hurr,hurr,hurr,”dengkur Minakjingga tiada henti. Dan tanpa ia sadari, saat itu pula Wahita dan Puyengan mencuri Gada Besi Kuning yang ada di sisi Minakjingga yang sedang tertidur pulas. Setelah mendapatkan Pusaka Gada Besi Kuning, Wahita dan Puyengan segera memberikannya kepada Damarwulan.

Damarwulan menyerukan tantangan lagi kepada Minakjingga. Saat itu Minakjingga yang masih terlelap dalam tidurnta dibangunkan Wahita dan Puyengan dan langsung menghadapi Damarwulan.
“Sekarang saatnya kamu menemui ajalmu!” tandas Damarwulan menantang Minakjingga.
Minakjingga yang mendengar kata- kata itu itu langsung marah besar dengan meninku Damarwulan. Saat itu Damarwulan jatuh tersungkur. Namun, karena Pusaka Gede Besi Kuning ditangannya, ia bangun dan hidup lagi. Sebaliknya Damarwulan langsung menghantam kepala Minakjingga dengan Gada Besi Kuning dan seketika itu juga Minakjingga tewas.

A
dik- adik, sikap serakah, bengis akan kalah dengan hati yang murni dan tulus. Damarwulan dapat mengalahkan Minakjingga yang bengis dan kejam.
Jangan contoh sikap Minakjingga dalam hidupmu !