H
|
ai
adik- adik, ada yang yang mau mendengarkan kakak bercerita ?
Alkisah
di zaman dahulu kala ada sebuah negeri yang terkenal bernama negeri
Purwacarita, dan tengah menyelenggarakan penobatan Panji Putera menjadi
maharaja menggantikan ayahandanya. Pesta pora berlangsung meriah. Tidak
ketinggalan adu ayam jago diadakan karena merupakan kesukaan Sri Baginda Panji
Putera. Sementara itu, di pintu gerbang istana ada seorang wanita hamil yang
ingin bertemu dengan Sri Baginda. “ Cepat pergi dari sini,sebentar lagi Sri
Baginda akan melalui pintu gerbang ini,”bentak seorang pengawal kepada wanita
hamil itu.
Tak lama
kemudian Sri Baginda Panji Putera melalui pintu gerbang istana. Ia terperanjat,
melihat seorang wanita hamil mendekatinya.
“Pangeran Panji
Putera, anak yang kukandung ini adalah anakmu !” teriak wanita hamil itu.
Wanita itu mengaku bernama Ratnasari. Sri Baginda Panji Putera tidak
memperdulikan sedikitpun. Bahkan ia memerintahkan kepada para pengawalnya untuk
membuang wanita itu ke hutan belantara.
Ratnasari
tinggal di hutan. Semakin hari kandungannya semakin besar. Suatu hari ia duduk
di depan gubuknya, tiba- tiba seekor elang sedang mencekram seekor anak ayam
terbang di atas kepala Ratnasari. Anak ayam tersebut lepas dari cengkramannya,
dan tepat jatuh di pangkuan Ratnasari.
“Kasihan sekali
anak ayam ini,” gumam Ratnasari. Karena merasa kasihan anak ayam itu lalu
dipelihara.
Adik- adik yang
baik hatinya, tibalah saatnya Ratnasari untuk melahirkan. Ia melahirkan seorang
anak yang tampan dan elok rupanya. Anak ayamnya pun menjadi seekor ayam jantan
yang siap tarung. Apabila berkokok selalu diikuti dengan suara “ Aku jagonya
Cindelaras, Ibunya dibuang ke tengah hutan, sedangkan ayahnya bertahta di
istana”.
Lalu Ratnasari
memberi nama Cindelaras kepada anaknya.
Beberapa tahun
kemudian, Cindelaras semakin dewasa dan ia ingin mencari ayahnya.
“Jangan pergi,
anakku. Ibu kuatir kau celaka” kata ibunya sambil memandang Cindelaras yang
menunjukkan tekad besar ingin berjumpa ayahnya.
“Ayam ajain,
anugerah Deata, ayam elang putih,” gumam Cindelaras sambil melangkahkan kakinya
menuju istana. Ibunya sangat kebingungan karena Cindelaras sudah tidak dapat
dihalangi lagi. Tibalah Cindelaras di istana dengan membawa elang putih, dan
langsung masuk ke gelangang persabungan ayam.
“Ayam sabungan
Sri Baginda tidak ada tandingannya!” kata seorang pengawal kerajaan sambil
mengejek. Sang Pengawal menyarankan agar Cindelaras mencari lawan ayam yang
lain. Namun, Cindelaras tetap mendesak ingin melawan ayam jago milik Sri
Baginda Panji Putera.
“Ooh, jadi kau
yang bernama Cindelaras?” tanya Sri Baginda kepada Cindelaras. “ Ya, hamba
Cindelaras,” jawabnya. Cindelaras menantang ayam jago Sri Bagunda dengan
taruhan, kalau ayamnya kalah sebagai taruhannya adalah batang lehernya. Sedang
Sri Baginda mempertaruhkan Istana Kerajaan. Sebagai lawan tanding ayam jago
Cindelaras, Sri Baginda memilih ayam jago bernama Kobra. Terjadilah pertarungan
seru. Namun, hanya beberapa gebrakan saja ayam jago Sri Baginda langsung mati.
“Sekarang akan
kupilih ayam andalanku. Ayam sapu Jagad,” kata Sri Baginda sambil memegang ayam
jago kesayangannya. Pertarungan pun berlangsung menegangkan. Ayam Sapu Jagad
pun mengalami nasib sama seperti ayam kobra. Sri Baginda tetap penasaran,
sehingga ia mengadu semua ayam jagonya. Dan tak seekor pun yang dapat
mengalahkan ayam Elang Putih milik Cindelaras.
“Aku kalah, dan
sekarang kuserahkan istanaku kepadamu,” kata Sri Baginda Panji Putera lunglai.
Namun Cindelaras tidak mau menerimanya.
“Tidak pantas
Negara dipertaruhkan dalam sabung ayam,” katanya. Mendengar itu Sri Baginda
terkesiap dan ingin tahu asal- usul Cindelaras. Sri Baginda baru sadar bahwa
Cindelaras adalah anaknya, dan Ratnasari Ibu Cindelaras adalah istrinya.
Akhirnya mereka
berkumpul dan hidp bahagia di Istana Purwacarita.
T
|
idak ada
seorangpun yang luput dari kesalahan maupun kekhilafan. Namun untuk
menyadarinya diperlukan suatu perbuatan yang nyata dan mau mengakui kesalahan
yang pernah dibuat.