RSS

Ular Hitam Bukit Kangin


A
dik- adik, di daerah pedalaman pulau Bali terdapat sebuah desa yang subur makmur, aman dan damai bernama desa Tenganan. Namun, pada suatu ahri penduduk desa dikejutkan  oleh kedatangan seorang lelaki yang berpakaian compang- camping seperti layaknya pengembara yang kehabisan bekal.
“Siapakah namamu ! Dari mana asalmu ?” tanya seorang pemuka masyarakat bernama Jero Pasek Tenganan. “Nama saya I Tundung. Saya orang miskin, tidak mempunyai tempat tinggal tetap,”jawab lelaki yang mengaku bernama I Tundung itu.

Jero Pasek  Tenganan merasa iba melihat keadaan I Tundung. Lantas ia memberikan makanan dan minuman secukupnya. Ucapan terima kasih tak henti- hentinya disampaikan I Tundung kepada Jero Pasek. “ Maaf, tuan. Kalau tuan berkenan, saya ingin mengabdikan diri kepada tuan,” pinta I Tundung kepada Jero Pasek  Tenganan. “Pekerjaan apa pun yang tuan berikan, akan saya kerjakan dengan senang hati,” tambah I Tundung. Karena kasihan Jero Pasek menerima permintaan I Tundung. Maka, mulai saat itu I Tundung tinggal di rumah Jero Pasek.
I Tundung sangat rajin bekerja. Selain bercocok tanam di sawah dan dan di lading, ia pun memelihara ternak. Hasil garapannya sangat memuaskan.

“Mmh, dia mempunyai tangan yang dingin. Sehingga tanaman apa pun yang ia tanam tumbuh subur dan hasilnya melimpah,”kata seorang petani kepada temannya.
“Dan ia mempunyai bakat beternak. Sehingga ternak jenis apa pun cepat gemuk dan beranak pinak,”ucap teman petani itu.
Melihat hasil kerja yang belimpah itu, I Tundung tidak sombong. Ia bahkan menularkan ilmu taninya kepada petani lain. Pada suatu hari, Jero Pasek memanggil I Tundung.
“Melihat hasil pekerjaanmu, aku akan menyerahkan sebidang tanah di Bukit Kangin. Tanah itu tandus dan gersang, sehingga tidak ada orang yang mau mengolahnya,”kata Jero Pasek kepada I Tundung.
“Aku yakin, kau mampu menggarapnya dan hasilnya pun melimpah,”tambah Jero Pasek.

I Tundung diberi kepercayaan oleh Jero Pasek itu dan ia tidak menyia-nyiakannya. Sejak saat itu  I Tundung pindah tempat tinggalnya di Bukit Kangin. Ia menggarap lahan yang tandus dan gersang itu bukan hanya tenaga yang digunakan, tetapi akal. I Tundung melihat ada sebuah mata air di lereng gunung.
“Aku akan mengalirkan mata air itu ke mari. Dengan begitu akan lebih mudah menggarap lahan ini,” gumam I Tundung penuh dengan keyakinan. Dengan sekuat tenaga, akhirnya air dari mata air dapat dialirkan ke Bukit Kangin. Ia mulai bercocok tanam, mulai dari padi, jagung dan sayur mayur.
Tibalah saat panen. Hasilnya melimpah ruah, Jero Pasek memuji keberhasilan I Tundung itu.

“Aku sangat bangga dengan usahamu yang tak kenal lelah. Kau bisa membuktikan kecakapanmu bertani. Maka mulai saat ini, kau  kuberi tugas untuk menggarap lahan di seluruh bukit,”kata Jero Pasek kepada I Tundung. Ternyata I Tundung pun kembali dapat menggarap seluruh lahan di Bukit Kangin menjadi tanah pertanian dan peternakan yang maju.

Setelah Jero PAsek dan I Tundung menikmati hasil dari lahan di Bukit Kangin, terjadilah musibah. Hampir setiap malam hasil pertanian itu banyak yang hilang. Bukan hanya itu. Ternak yang dipelihara di lahan itu pun, satu per satu hilang dari kandangnya. Betapa pun I Tundung sudah sekuat tenaga menjaganya, namun tetap saja terjadi pencurian.
“Aku sangat kecewa dengan kejadian yang sangat merugikan itu. Mungkin, kau sudah bosan merawat atau menjaga lahan pertanian dan ternak, sehingga sering terjadi pencurian itu,” kata Jero Pasek kepada I Tundung. Tentu saja perasaaan hati I Tundung tersinggung mendengar ucapan Jero Pasek itu.

I Tundung merasa sangat malu dengan Jero Pasek, karena tidak bisa mengatasi pencurian yang berada di lahan garapannya. Setiap malam ia merenung sambil memutar otak bagaimana caranya mengatasi pencuri yang lihai itu. Di tengah malam yang hening,  I Tundung masuk ke sebuah pura yang bernama Pura Naga Sundung. Di sana ia berdoa dengan khusuk memohon kepada Sang Hyang Widi  dapat membantunya mengatasi pencuri yang sangat merugikan itu. Tiba- tiba ia dikejutkan oleh suara gaib yang terngiang- ngiang di telinganya.

“Permohonanmu kukabulkan, asalkan kau mau mengikuti perintahku,”bunyi suara gaib. Kau harus rela mati berubah menjadi ular hitam,”tambah suara gaib itu.
“Jadikanlah diri hamba ini apa saja, asalkan hamba dapat  menghapus rasa malu dan dapat mengabdi kepada tuan Jero Pasek,”ucap I Tundung. Setelah mengucapkan kata-kata itu, I Tundung merasakan kaki dan lehernya bertambah panjang dan berubah menjadi seekor ular hitam yang besar.

Pada suatu hari, Jero Pasek ingin menemui I Tundung di lahan Bukit Kangin, namun lelah sudah ia menyusuri seluruh bukit, ternyata ia tidak menemukan I Tundung. Tibalah ia di Pura Sundung. Betapa terkejutnya, ia melihat seekor ular hitam legam besar yang sangat besar.
“Jangan takut, tuan Jero Pasek. Hamba adalah I Tundung yang sekarang menjelma menjadi ular hitam. Hamba berjanji tetap akan mengabdi kepada tuan dan bersedia menjaga lahan Bukit Kangin ini. Bila ada yang berani mencuri hasil lahan dan ternak, mereka akan kubunuh,”ucap I Tundung yang sudah berubah wujud menjadi seekor ular hitam legam itu.

Adik- adik, Jero Pasek sangat terharu mendengar ucapan I Tundung. “Maafkan aku, I Tundung. Bukannya aku tidak mempercayaimu. Melainkan aku ingin memberi kepercayaan sepenuhnya kepadamu untuk mengolah, merawat dan menjaga hasil lahan di bukit ini,” kata Jero Pasek mantap.
“Nah, mulai sekarang kau kuberi tugas untuk menjaga lahan ini sampai anak keturunanmu,”lanjut Jero Pasek. Mendengar tugas itu, ular hitam legam yang dinamai Lelipi Salem Bukit. Lalu secara perlahan-lahan masuk ke dalam semak – semak. Sejak saat itu Bukit Kangin tidak ada lagi pencurian.

A
dik- adik, I Tundung menunjukkan pengabdian yang tulus sehingga ia mau mengorbankan apa pun dalam hidupnya kepada Jero Pasek. Ia diberi kepercayaan yang luar biasa atas apa yang dilakukannya itu oleh tuannya.

Eran Dilangi'


A
dik- adik, konon dahulu kala hubungan antara manusia dan penghuni langit masih sangat dekat. Manusia di bumi setiap saat bisa berkunjung ke langit. Saat itu, bila manusia hendak melakukan suatu  kegiatan biasanya pergi ke langit untuk menanyakan boleh atau tidak hal tersebut dilakukan. Begitu juga penghuni langit, terutama Puang Matua sering berkunjung ke bumi untuk mengontrol cara hidup manusia. Hubungan itu bisa terjadi karena saat itu masih ada eran di langi ( tangga ke atas langit ) yang menghubungi langit dan bumi.

Pada suatu hari, manusia berkunjung ke rumah Puang Matua di langit. Saat melintasi dapur Puang Matua, manusia melihat ada benda yang sangat aneh dan ia pun mengambilnya. Benda itu disebut  Batu te’tekan ( sejenis batu yang menghasilkan api digosok dengan benda lain). Pemantik api ajaib yang digunakan Puang Matua untuk menyalakan api di langit.
Penghuni langit gempar karena Batu te’tekan hilang. Semua dewa sakti di langit dikerahkan untuk mencari pemantik tersebut. Puang Matua mencurigai manusia bumi yang baru saja bertamu di rumahnya. Puang Matua marah, namun ia belum sampai hati menghukum manusia. Puang Matua masih bisa bersabar dan menahan amarahnya.

Tersebutlah seorang bangsawan bernama Londong Dirura yang ingin menikahkan putra dan putrinya. Hal ini terjadi di Tana Toraja. Karena di daerah itu baru ada beberapa orang maka untuk mencari jodoh di luar keluarga tidaklah mungkin. Ketika kedua anak bangsawan itu telah dewasa, orang tuanya ingin menikahkan kedua bersaudara kandung itu. Seperti biasanya, setiap ada acara di bumi, harus dibicarakan dulu dengan Puang Matua.

Londong Dirura segera memangiil seorang hamba bernama Mangi. Kata bangsawan itu, “Mangi “hambaku ! Saya mempunyai rencana menikahkan kedua anak saya. Karena itu saya mengutusmu ke langit. Tanyakan pada Puang Matua, bolehkah menikahkan orang yang bersaudara kandung”
“Ya, tuan. Hamba akan laksanakan perintah tuan.”
“Bila bertemu Puang Matua, utarakan maksudmu dan dengarkan baik- baik pesannya. Setelah itu, kamu harus langsung turun ke bumi sebab kedua anak itu sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagianya.”
“Hamba mohon doa restu. Semoga hamba bisa kembali dengan cepat dan tidak mengalami gangguang apapun dalam perjalanan.”

Saat itu di dalam hati Mangi mulai muncul niat tidak baik. Lesempatan itu digunakan olehnya untuk membalas segala perlakuan tidak baik yang dilakukan tuannya pada dirinya sendiri selama ini. Sesudah bepamitan Mangi’ langsung pergi bersembunyi di semak- semak tidak jauh dari rumah tuannya. Setelah bersembunyi semalam suntuk di sana, hamba yang licik itu kembali menghadap tuannya.
“Puang Matua merestui dan sangat gembira atas rencana tuan. Para dewa akan turun ke bumi, saat tuan menyelenggarakan pesta pernikahan anak tuan, dan sebelumnya tuan harus menggelar upacara Ma’bua (pesta syukuran atas kemurahan Tuhan yang biasanya dilangsungkan sekali dalam sepuluh tahun). Karena ini adalah syarat langsung dari Puang Matua. Kalau dilanggar kedua anak tuan tidak bisa dinikahkan.”

Londong Dirura segera menyiapkan upacara Ma’bua. Ia menyebar berita ke daerah seberang agar warga di sana ikut menyaksikan pesta raksasa itu. Tidak lama kemudian, Toraja berubah menjadi lautan manusia yang datang dari berbagai daerah. Pada hari pelaksanaan pesta, Londong Dirura turun ke tempat upacara dengan memakai hiasan berupa tanduk kerbai berlapis emas. Ia datang ke lapangan tempat pesta dilangsungkan sambil diiringi teriakan- teriakan histeris. Pesta Ma’bua pun segera dimulai.
Puang Matu di langit merasa gelisah. Iamendapat firasat di bumi pasti ada yang tidak beres. Puang Matua pun langsung turun dari langit menyaksikan perilaku manusia yang semakin aneh di bumi. Sesampainya di bumi, alangkah kagetnya hati Puang Matua menyaksikan penghuni bumi sedang mengadakan pesta rakyat.
“Apa yang hendak kau lakukan dengan pakaian  dan tanduk seperti itu ?”
“Saya hendak membuka upacara Ma’bua. Bukankah Puang Matua telah memerintahkan menggelar upacara ini sebelum saya mengawinkan kedua anak kandung saya ? dan katanya Puang Matua telah menyetujuinya asalkan terlebih dahulu membuat pesta Ma’bua.”
“Saya tidak pernah kedatangan utusan dari bumi akhirnya akhir ini.”kata Puang Matua geram.
Londong Dirura sadarkalau ia telah ditipu oleh Mangi,”hambanya yang licik. Segera diperintahkannya untuk menangkap Mangi’ yang telah menipu Londong Dirura. Mangi’ mengaku bahwa sebenarnya ia tidak berangkat ke langit, namun hanya bersembunyi di semak- semak. Sejak saat itu, Mangi’ diusir dari rumah tuannya. Melihat perilaku manusia yang semakin tidak baik, marahlah Puang Matua. Kesalahan- kesalahan beruntun yang dilakukan manusia itu tidak bisa lagi dimaafkan. Maka dengan sangat marah, Puang Matua dan segenap rombongannya kembali ke langit.
Sesampainya di langit, Puang Matua menumpahkan amarahnya. Ia langsung menendang tangga yang menghubungkan bumi dan langit. Tangga itu langsung berserakan dan menimpa manusia di bumi. Halaman menjadi retak dan terbuka sehingga air memancar dari dalam tanah.

Dalam sekejap saja, daerah itu telah digenangi air dan menjadi lautan. Pesta Ma’bua dan rencana pernikahan anak- anak Londong Dirura pun tidak jadi dilangsungkan.Tangga yang berserakan dan menimpa banyak orang itulah, menurut kepercayaan orang Toraja menjadi guguisan pegunungan batu yang terbentang di daerah Propinsi Sulawesi Selatan mulai dari Kabupaten Inrekang sampai ke Toraja. Di Toraja, gugusan pegunungan itu disebut Gunung Sarira.

Sejak saat itulah, hubungan manusia dengan Puang Matua dan seluruh penghuni langit menjadi putus. Tidak mungkin manusia untuk datang bertandang ke langit. Begitu juga Puang Matua ,tidak lagi mentangi manusia secara nyata lewat tangga. Agar manusia di bumi tetap mempunyai aturan hidup, maka Puang Matua menciptkan   Aluk To Dolo. Puang Matua mengharapkan terjalin kerukunan antara manusia dengan pencipta maupun manusia dengan manusia.

W
ah, adik- adik, seru ya ceritanya. Ternyata ketaatan kita kepada sang Pencipta merupakan tanda kita menghormati Sang Pemilik Otoritas tertinggi. Jauhi larangannya dan jangan pernah berusaha melanggarnya, karena bisa membawa pada penderitaan.

Calon Arang


A
dik- adik, konon dahulu kala hubungan antara manusia dan penghuni langit masih sangat dekat. Manusia di bumi setiap saat bisa berkunjung ke langit. Saat itu, bila manusia hendak melakukan suatu  kegiatan biasanya pergi ke langit untuk menanyakan boleh atau tidak hal tersebut dilakukan. Begitu juga penghuni langit, terutama Puang Matua sering berkunjung ke bumi untuk mengontrol cara hidup manusia. Hubungan itu bisa terjadi karena saat itu masih ada eran di langi ( tangga ke atas langit ) yang menghubungi langit dan bumi.

Pada suatu hari, manusia berkunjung ke rumah Puang Matua di langit. Saat melintasi dapur Puang Matua, manusia melihat ada benda yang sangat aneh dan ia pun mengambilnya. Benda itu disebut  Batu te’tekan ( sejenis batu yang menghasilkan api digosok dengan benda lain). Pemantik api ajaib yang digunakan Puang Matua untuk menyalakan api di langit.
Penghuni langit gempar karena Batu te’tekan hilang. Semua dewa sakti di langit dikerahkan untuk mencari pemantik tersebut. Puang Matua mencurigai manusia bumi yang baru saja bertamu di rumahnya. Puang Matua marah, namun ia belum sampai hati menghukum manusia. Puang Matua masih bisa bersabar dan menahan amarahnya.

Tersebutlah seorang bangsawan bernama Londong Dirura yang ingin menikahkan putra dan putrinya. Hal ini terjadi di Tana Toraja. Karena di daerah itu baru ada beberapa orang maka untuk mencari jodoh di luar keluarga tidaklah mungkin. Ketika kedua anak bangsawan itu telah dewasa, orang tuanya ingin menikahkan kedua bersaudara kandung itu. Seperti biasanya, setiap ada acara di bumi, harus dibicarakan dulu dengan Puang Matua.

Londong Dirura segera memangiil seorang hamba bernama Mangi. Kata bangsawan itu, “Mangi “hambaku ! Saya mempunyai rencana menikahkan kedua anak saya. Karena itu saya mengutusmu ke langit. Tanyakan pada Puang Matua, bolehkah menikahkan orang yang bersaudara kandung”
“Ya, tuan. Hamba akan laksanakan perintah tuan.”
“Bila bertemu Puang Matua, utarakan maksudmu dan dengarkan baik- baik pesannya. Setelah itu, kamu harus langsung turun ke bumi sebab kedua anak itu sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagianya.”
“Hamba mohon doa restu. Semoga hamba bisa kembali dengan cepat dan tidak mengalami gangguang apapun dalam perjalanan.”

Saat itu di dalam hati Mangi mulai muncul niat tidak baik. Lesempatan itu digunakan olehnya untuk membalas segala perlakuan tidak baik yang dilakukan tuannya pada dirinya sendiri selama ini. Sesudah bepamitan Mangi’ langsung pergi bersembunyi di semak- semak tidak jauh dari rumah tuannya. Setelah bersembunyi semalam suntuk di sana, hamba yang licik itu kembali menghadap tuannya.
“Puang Matua merestui dan sangat gembira atas rencana tuan. Para dewa akan turun ke bumi, saat tuan menyelenggarakan pesta pernikahan anak tuan, dan sebelumnya tuan harus menggelar upacara Ma’bua (pesta syukuran atas kemurahan Tuhan yang biasanya dilangsungkan sekali dalam sepuluh tahun). Karena ini adalah syarat langsung dari Puang Matua. Kalau dilanggar kedua anak tuan tidak bisa dinikahkan.”

Londong Dirura segera menyiapkan upacara Ma’bua. Ia menyebar berita ke daerah seberang agar warga di sana ikut menyaksikan pesta raksasa itu. Tidak lama kemudian, Toraja berubah menjadi lautan manusia yang datang dari berbagai daerah. Pada hari pelaksanaan pesta, Londong Dirura turun ke tempat upacara dengan memakai hiasan berupa tanduk kerbai berlapis emas. Ia datang ke lapangan tempat pesta dilangsungkan sambil diiringi teriakan- teriakan histeris. Pesta Ma’bua pun segera dimulai.
Puang Matu di langit merasa gelisah. Iamendapat firasat di bumi pasti ada yang tidak beres. Puang Matua pun langsung turun dari langit menyaksikan perilaku manusia yang semakin aneh di bumi. Sesampainya di bumi, alangkah kagetnya hati Puang Matua menyaksikan penghuni bumi sedang mengadakan pesta rakyat.
“Apa yang hendak kau lakukan dengan pakaian  dan tanduk seperti itu ?”
“Saya hendak membuka upacara Ma’bua. Bukankah Puang Matua telah memerintahkan menggelar upacara ini sebelum saya mengawinkan kedua anak kandung saya ? dan katanya Puang Matua telah menyetujuinya asalkan terlebih dahulu membuat pesta Ma’bua.”
“Saya tidak pernah kedatangan utusan dari bumi akhirnya akhir ini.”kata Puang Matua geram.
Londong Dirura sadarkalau ia telah ditipu oleh Mangi,”hambanya yang licik. Segera diperintahkannya untuk menangkap Mangi’ yang telah menipu Londong Dirura. Mangi’ mengaku bahwa sebenarnya ia tidak berangkat ke langit, namun hanya bersembunyi di semak- semak. Sejak saat itu, Mangi’ diusir dari rumah tuannya. Melihat perilaku manusia yang semakin tidak baik, marahlah Puang Matua. Kesalahan- kesalahan beruntun yang dilakukan manusia itu tidak bisa lagi dimaafkan. Maka dengan sangat marah, Puang Matua dan segenap rombongannya kembali ke langit.
Sesampainya di langit, Puang Matua menumpahkan amarahnya. Ia langsung menendang tangga yang menghubungkan bumi dan langit. Tangga itu langsung berserakan dan menimpa manusia di bumi. Halaman menjadi retak dan terbuka sehingga air memancar dari dalam tanah.

Dalam sekejap saja, daerah itu telah digenangi air dan menjadi lautan. Pesta Ma’bua dan rencana pernikahan anak- anak Londong Dirura pun tidak jadi dilangsungkan.Tangga yang berserakan dan menimpa banyak orang itulah, menurut kepercayaan orang Toraja menjadi guguisan pegunungan batu yang terbentang di daerah Propinsi Sulawesi Selatan mulai dari Kabupaten Inrekang sampai ke Toraja. Di Toraja, gugusan pegunungan itu disebut Gunung Sarira.

Sejak saat itulah, hubungan manusia dengan Puang Matua dan seluruh penghuni langit menjadi putus. Tidak mungkin manusia untuk datang bertandang ke langit. Begitu juga Puang Matua ,tidak lagi mentangi manusia secara nyata lewat tangga. Agar manusia di bumi tetap mempunyai aturan hidup, maka Puang Matua menciptkan   Aluk To Dolo. Puang Matua mengharapkan terjalin kerukunan antara manusia dengan pencipta maupun manusia dengan manusia.

W
ah, adik- adik, seru ya ceritanya. Ternyata ketaatan kita kepada sang Pencipta merupakan tanda kita menghormati Sang Pemilik Otoritas tertinggi. Jauhi larangannya dan jangan pernah berusaha melanggarnya, karena bisa membawa pada penderitaan.

Asal Usul Danau Toba


D
ahulu kala, di wilayah Sumatera Utara terdapat sebuah desa. Di sana hiduplah seorang petani yang bersahaja. Ia tidak mempunyai lahan pertanian yang luas. Namun berkat keuletannya, ia dapat mencukupi hidupnya dari hasil taninya. Ia sebenarnya sudah saatnya berkeluarga, namun ia tetap memilih hidup sendirian. Bahkan kata orang, ia takut dengan perempuan, sehingga  ia mudah sekali menjadi gunjingan orang.

Pada pagi hari yang cerah, petani itu pergi memancing ikan di sungai.
“Hm, mudah- mudahan aku mendapat ikan yang besar,”gumam petani dalam hati. Si petani itu melemparkan kailnya dengan penuh harap, tidak berapa lama kailnya bergoyang-goyang itu pertanda kailnya telah mendapat mangsa. Dengan cepat, kailnya ditarik. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar. Hatinya takjub, melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan.
“Tunggu, aku jangang kau bunuh ! Aku ingin menemanimu !” seru ikan kepada petani itu. Hati petani menjadi berguncang, karena suara itu berasal dari ikan yang ditangkapnya. Rasa takut dan heran berbaur menjadi satu di dadanya. Lebih-lebih setelah melepaskan ikan itu dari genggamannya, dengan perlahan- lahan ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
“Ya, Tuhan, bermimpikah aku?”gumamnya.
“Jangan takut pak, aku bukan setan atau jin, aku manusia seperti engkau. Dan aku sangat berhutang budi kepadamu, karena kamu telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,”kata gadis itu.
“Namaku Putri, aku tidak keberatan menjadi istrimu,”kata gadis itu seolah mendesak.
Petani itu pun mengangguk, maka jadilah mereka sebagai suami istri, Namun ada janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Putri dari seekor ikan. Kalau janji itu dilanggar, maka akan terjadi malapetaka yang maha dahsyat.
Mereka pulang ke desa di mana petani itu berasal. Gemparlah orang- orang sedesa, melihat gadis cantik jelita bersama sang petani bersahaja.
“Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani mereka sangat berbahagia dan tentram. Namun sebagai suami yang baik, ia tetap bertanggungjawab mencari nafkah sebagaimana mestinya. Ia mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet.

Atas keberhasilan mengolah sawahnya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani.
“Aku tahu petani memelihara makhluk halus!” kata seseorang kepada temannya. Namun, mereka tidak merasa tersinggung. Justru mereka semakin rajin bekerja.

Setelah sekian lama Putri mengandung, akhirnya Putri melahirkan bayi laki-laki sehat. Ia beri nama Putra. Si petani dan Putri bertambah bahagia. Kebahagian itu tidak membuat si petani lupa diri. Tetapi, malah semakin giat berusaha meningkatkan penghasilannya. Putra pun tumbuh sehat dan kuat. Ia telah menjadi anak manis, tetapi agak nakal. Ia mempunyai kebiasaan yang sangat mengherankan kedua orang tuanya yaitu selalu lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya seorang diri. Kedua orang tuanya memahami kelemahan anaknya ini.
Tetapi Putra selalu membuat jengkel ayahnya. Apabila disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Namun, Putri selalu mengingatkan suaminya agar tetap bersabar.
“Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata petani kepada istrinya.
“Syukurlah, kalau kanda berpikiran demikian. Kau memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Putri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran ada batasnya. Hal ini dialami oleh petani itu. Pada suatu hari, Putra mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putra tidak memenuhi kewajiban. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Didapatinya, Putra sedang bermain bola. Petani langsung menampar pipi kanan Putra.
“Anak tidak tahu diuntung ! Dungu! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!”umpat si Petani tanpa sadar mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani itu mengucapkan kata- kata umpatan dan kata-kata yang melanggar janji, seketika itu juga istri dan anaknya hilang lenyap secara gaib. Tanpa bekas dan jejak. Dan bekas injakan kakinya, tiba- tiba menyemburkan air yang sangat deras, dan semakin besar. Desa petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas membentuk telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Dan danau itu sekarang dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil ditengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir. Itulah asal-usul Danau Toba yang sangat indah itu.

J
anji adalah hal yang seharusnya ditepati. Bila kita mengingkari atau melanggar janji, sebagai akibatnya adalah hal yang tidak kita inginkan.



Baru Kelinting


A
dik- adik, alkisah Maharesi gunung Merbabu bernama Sang Ajar Windusana mempunyai  istri cantik bernama Dyah kasmala , putri Raja  Brawijaya. Sang Ajar Windusana senantiasa berkasih- kasihan dengan istrinya, sampai akhirnya sang istri mengandung.
“ Kanda, bolehkah saya pinjam pisau itu? “ kata Dyah Kasmala sambil terkagum- kagum dengan pisau yang berada di tangan Sang Ajar Windusana. “ Boleh, tetapi jangan pisau ini disimpan dekat perut,” pesan Sang Ajar Windusana dengan sungguh- sungguh. Takkala diadakan bersih desa, Dyah Kasmala menggunakan pisau itu untuk membuat  takir. Setelah selesai, diselipkan pisai itu ke dalam semekan ( kemben).

Tiba saatnya bagi Dyah Kasamala untuk melahirkan. Ia sangat terkejut melihat bayi berupa ular dengan sirip pancawarna. Seketika itu juga, Dyah Kasmala menghembuskan nafas terakhir. “ Oh, istriku,” desah Sang Ajar Windusana dengan rasa iba bercampur rasa takut, melihat kejadian yang berada di depan matanya.
“Hei ular!” kau kubuang ke dalam samudera, agar kau mati di sana,” kata Sang Ajar Windusana. Namun, karena kehendak Dewata, sang ular makin bertambah besar, dan bertemu dengan Dewi Angin- Angin di tengah samudera. Dewi Angin – Angin menjelaskan tentang riwayat hidup sang ular.

“Aku harus bertemu dengan ayahku!” seru sang ular. Ia lalu berangkat mencari ayahnya Sang Ajar Windusana dipedepokan gunung Merbabu. Ketika mereka bertemu, ayahnya lupa nahwa sang ular adalah anak kandungnya sendiri, kemudian sang ular diberi nama Baru Kelinting.
“Mulai hari ini, kau kuperintahkan bertapa di tepi samudera !”perintah Sang Ajar Windusana.

Baru Kelinting bertapa mati raga, ia masuk ke dalam sebuah rawa yang terletak di tepi samudera.. Bertahun- tahun, ia bertapa, hingga ia merasa kerasan., badannya tertimbun oleh tanah dan lumut, hingga tidak kelihatan wujud aslinya.” Ha! Ada belut besar!” kata penduduk desa yang menancapkan parang di badan Baru Kelinting, seketika itu juga , darah mengucur tanpa henti, hingga air rawa menjadi merah darah. Tidak lama kemudian para penduduk desa memotong tubuh Bru Kelinting dan dibagikan secara merata.

Sang Ajar Windusana mendengar anaknya telah menjadi korban penduduk desa, ia lalu turun ke pedesaan, dan menyamar sebagai anak kecil berumur empat tahun. Ia minta sepotong daging mentah, namun tak seorang pun memberinya. Akhirnya, ia bertemu dengan seorang nenek tua.
“Oh, nenek tidak punya daging secuilpun,” kata nenek tua itu. Sang Ajar Windusana melihat sebatang lidi yang terselip di dinding, kemudian ia memintanya.

“Hei, teman- teman, aku punya sayembara, kalau ada yang dapat mencabut lidi ini boleh memenggal kepalaku, tapi apabila tidak sanggup, kalian harus memberi sepotong daging mentah kepadaku sebagai tuah!” seru Sang Ajar Windusana yang sudah menyamar sebagai anak kecil itu. Mereka berusaha mencabutnya, tetapi tak seorangpun mampu mencabutnya, kemudian banyak orang dewasa bergantian mencoba mencabut lidi itu, tetapi sia- sia.

“Sudahlah, aku tak mampu mencabut lidi ini,: kata mereka dengan pasrah. Kemudian Sang Ajar Windusana memegang lidi itu sambil melihat ke belakang, tercabutlah lidi itu dengan sangat mudah. Seketika itu juga, keluarlah mata air dengan deras, yang kemudian menjadi air bah yang menggenangi desa- desa sekitarnya. Semua orang mati tenggelam, hanya nenek tua yang selamat, naik lesung serta sebuah centong nasi sebagai alat dayung. Akhirnya ia sampai di daratan dan tinggal di sebuah gunung. Itulah asala- usul terjadinya Rawa Pening di Jawa Tengah.
N
ah adik – adik, Sang Ajar Windusana merasa dirugikan oleh orang lain dengan kematian anaknya yang sebenarnya dibencinya. Namun, sebagai seorang ayah yang mempunyai keturunan, tentunya akan membela mati- matian apabila sang anak diperlakukan dengan semena- mena. 

Dewi Sekartaji


A
dik- adik, pernahkah kalian mendengar kisah Dewi Sekartaji ? Benar, dia adalah puteri dari Kediri yang menikah dengan Raden Panji Putera Raja Janggala.
Mereka merupakan pasangan yang serasi. Pada suatu hari, Dewi Sekartaji menyampaikan permintaan kepada suaminya yaitu permintaan yang berhubungan dengan tanda- tanda wanita mengandung. “Dinda ingin makan daging menjangan putih,” pinta Dewi Sekartaji. Permintaan itu terdorong selera yang sangat menggoda pada saat-saat mengidam.. Betapapun menjagan putih itu sangat sulit ditemukan, namun Raden Panji tetap menyanggupi.
Pada suatu hari Raden Panji disertai isterinya berburu ke hutan. Mereka tiba di hutan Larangan. Keadaannya sangat angker. Malam mulai menyelimuti hutan Larangan. “ Sebaiknya kita beristirahat di sini barang semalam,”kata Raden Panji kepada istrinya. Mereka segera mendirikan kemah. Sebelum tidur, mereka bermesraan seperti layaknya pengantin yang sedang berbulan madu. “ Dia harus menjadi suaminku!” geram Ni Kalakunti, saat melihat sepasang sejoli itu bermesraan. Ni Kalakunti adalah iblis betina yang mendiami hutan Larangan itu. Ia menginginkan Raden Panji menjadi suaminya. Untuk mendapatkan tujuan itu, Ni Kalakunti menta bantuan ayahnya bernama Kalawarok. Ayahnya memberi ilmu “Mancala Puteri”. Dengan ilmu itu, Ni Kalakunti bisa minta apa saja yang diinginkannya.
“Mancala Puteri ! Aku ingin menjelma menjadi Puteri Sekartaji!” ucap Ni Kalakunti. Saat itu pula Ni Kalakunti berubah wujud menjadi Dewi Sekartaji. Ia melihat seekor babi hutan. “ Mancala Puteri  Babi hutan menjelmalah menjadi menjangan putih. !” Seketika itu pula babi hutan berubah menjadi  seekor menjangan putih. Pada saat Raden Panji mengendap- endap diendap- endap di semak- semak, dilihatnya seekor menjangan putih jelmaan babi hutan melintas. Dengan  segera Raden Panji memburunya  sampai akhirnya berpisah jauh dengan istrinya. Saat itu pula Dewi Sekartaji hadir di samping Raden Panji. Raden Panji tidak tahu kelak yang hadir di sampingnya itu adalah jelmaan Ni Kalakunti. “ Syukurlah kau bisa menyusul kemari,” kata Raden Panji kepada Dewi Sekartaji palsu.
“Kejar terus menjangan putih itu, Kanda,”pinta Dewi Sekartaji palsu. Raden Panji berdaya upaya untuk segera menangkap seekor menjangan putih. Dengan segera Raden Panji membidik menjangan puith dengan panahnya. Cepat bagaikan kilat anak panah Raden Pani telah menembus menjangan putih jelmaan babi hutan. Dengan hati berbunga- bunga Raden PAnji memberikan daging menjangan putih kepada Dewi Sekartaji palsu. Dewi Sekartaji Palsu dengan lahapnya menikmati daging panggang menjangan putih. Setelah itu, mereka kembalu ke istana. Sejak saat itu Ni Kalakunti hidup sebagai Raden Panji. Ia mengutarakan kepada suaminya bahwa kandungannya sudah semakin besar.
Dewi Sekartaji palsu sudah saatnya melahirkan. Betapa gembiranya Raden Panji menyambut kelahiran anaknya itu. Namun ketika bayi itu lahir, istana kerajaan gempar. Sebab bayi laki- laki yang dilahirkan berbentuk aneh. Badannya besar bagaikan bayi raksasa. Kulitnya hitam legam. Giginya tumbuh bagai gergaji. Pada kedua sudut bibirnya menonjol taring yang runcing. “ Kuberi nama Pangeran Muda,” tutur Raden Panji menamai puteranya. Semakin bertambah umur, Pangeran Muda semakin mengerian. Tabiatnya pun sangat keras. Ia sering mengamuk.
Raden Panji sangat malu melihat puteranya bertabiat buruk. Ia bermaksud mengurung puteranya itu di salah satu ruang. “ Anak kita jangan dikekang apalagi dkurung. Berilah kebebasan sepuas-puasnya,” kata Dekartaji palsu menahan keinginan suaminya. Raden Panji tidak bisa membantah. Ia menuruti kemauan istrinya. Pada suatu hari ia mendatangi sebuah pasar desa. “ Hem, daging mentah ini sangat lezat. Baik akan kusantap semua,”kata Pangeran Muda. Para pemilik daging itu berusaha menghalang-halangi Pangeran Muda mengambil daging mentah yang akan dimakan. Melihat keadaan itu Pangeran Muda mengamuk. Ia merusak apa saja yang ditemuinya. Orang- orang berlarian menghindari serangan Pangeran Muda. Pangeran Muda mengejar orang- orang itu sampai ke dusun- dusun, tertangkap langsung dipukul dan disiksa. Banyak yang menemui ajal. Di tengah- tengah keberingasan Pangeran Muda itu, tiba- tiba tampak sekelebat bayangan seorang pemuda melompat tepat berada dihadapan Pangeran Muda. “ Raksasa biadab ! Sungguh kejam kau! Kedatanganku ingin menghabisi nyawamu !” tantang seorang pemuda.
“Berani benar kau! Awas kusantap hidup- hidup!” ancam Pangeran Muda berwajah garang. Seketika itu pula terjadilah pertarungan seru. Pangeran Muda berkali- kali kena pukulan dari pemuda itu. Dalam keadaan terdesak, Pangeran Muda melarikandiri dan melapor kepada ayahnya., Raden Panji dan istrinya mendapat laporan Pangeran Muda perihal kekalahan melawan seorang pemuda dusun. Mereka segera berangkat menuju di mana seorang pemuda itu berada.
“Oh, rupanya raksasa jahat itu putera Tuan,” kata seorang,” kata  pemuda itu sambil menyembah. “ Maafkan hamba, karena hamba telah menyakiti putera Tuan,” tambahnya. “Siapa namamu ? “tanya Raden Panji.
“Nama hamba Jaka Putera. Ibu hamba bernama Dewi Sekartaji,” jawab pemuda itu. Ibu hamba mengatakan bahwa ayah hamba bernama Raden Panji putera Raja Janggala,” lanjutnya. Betapa terkejutnya hati Raden Panji mendengar pengakuan Jaka Putera. Dewi Sekartaji palsu tampak gelisah dan segera mendesak suaminya agar segera menangkap Jaka Putera untuk dijebloskan ke dalam penjara. Namun, Raden Panji tidak mengikuti kemauan Dewi Sekartaji palsu itu.

Dewi Sekartaji palsu langsung menyerang Jaka Putera. Jaka Putera  langsung melemparkan pukulan maut tepat mengenai dada Dewi Sekartaji palsu. Seketika itu juga tubuh Dewi Sekartaji palsu terbakar, bentuk dan rupa dirinya berubah menjadi Ni Kalakunti, lantas badannya kejang dan segera menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pangeran Muda melihat ibunya tewas, langsung melompat hendak mencengkram kepala Jaka Putera. Namun Pangeran Muda terkena tendangan maut Jaka Putera, seketika itu juga tubuh Pangeran Muda gosong, ia tewas mengenaskan. Setelah Jaka Putera berhasil mengalahkan kedua makhluk itu, ia langsung menyembah Raden Panji.
“ Maafkan, Ayah. Ayahanda telah menjadi korban iblis betina yang bernama Ni Kalakunti yang telah menjelma menjadi ibunda,” ungkap Jaka Putera. Raden Panji mengakui Jaka Putera sebagai anak kandungnya. Ia pun ingin bertemu dengan ibu kandung Jaka Putera.

Pertemuan Raden Panji dengan Dewi Sekartaji sangat mengharukan. Mereka melepas rindu sambil meneteskan air mata dengan tak henti- hentinya. Dewi Sekartaji menjelaskan apa yang telah dialami di hutan. Demikian pula Raden Panji mengungkapkan pengalamnnya selama berpisah dengan istri yang dicintainya. Mereka bangga karena telah mempunyai anak yang membela kebenaran.
“ Dinda, kita harus segera kembali ke istana,” ajak Raden Panji kepada istrinya. Mereka bertiga tiba di istana dan disambut penuh dengan sukacita  oleh kedua orang tuanya. Akhirnya Raden Panji dan Dewi Sekartaji dapat membangun keluarga bahagia dan sejahtera.

A
dik-adik yang baik hatinya, ternyata tindakan kejahatan walaupun ditutup-tutupi atau dirahasiakan, akhirnya akan terbongkar jug. Oleh karena itu, marilah kita hindari perbuatan  terkutuk itu. Kita tegakkan kebenaran di mana pun kita berada, agar segala bentuk kejahatan maupun penipuan dapat diungkap secara terbuka dan dibangun sesuai dengan jalan kebenaran.

Sungai Jodoh


H
ai adik- adik, siapa yang pernah mengunjugi pulau Batam ?
Alkisah di pedalaman pulau kecil itu, ada gadis yatim piatu bernama Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang puteri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “He! Ular !” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ular mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana kemari sambil menunjukkan luka yang berada di punggungnya.Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan berusaha merawatnya.
Setelah beberapa hari ular yang diobati Mah Bongsu, ternyata bisa berangsur- angsur sembuh. Tubuh ular menjadi sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sesdikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, lantas dibakar. Ajaib, setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbullah asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka datanglah tumpukan emas berlian dan uang dolar Singapur. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung, datanglah nberkodi- kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya melebihi Mak Piah majikannya.
Karena Mah Bongsu menjadi kaya mendadak, hal itu menyebabkan banyak orang menjadi heran dan bertanya- tanya. “ Pastoi Mah Bongsu memelihara tuyul,” kata Mak Piah bernada iri. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul ! Tetapi dia telah mencuri hartaku!” tuduh Mak Piah kepada Mah Bongsu.
Dengan demikian, banyak orang penasaran dan berusaha menyelidiki asal muasal harta milik Mah Bongsu.Namun menyeldiki asal muasal harta benda Mah Bongsu ternyata tidaklah mudah. Selama berhari- hari mereka tidak berhasil menemukan rahasianya. “ Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya yang bernama Mak Risyah. Bahkan Mak Ungkai dan Mak Risyah mengucapkan terima kasih kepad Mah Bongsu. Sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan dalam mencukupi kebutuhabn sehari- hari. Ternyata bukan hanya kedua orang itu yang mendapat bantuan Mah Bongsu, melainkan para yatim piatu, orang yang sedang sakit, janda miskin dan l;ain sebaginya. “ Mah Bongsu adalah seorang dermawati,” sebut mereka.
Selanjutnya, Mak Piah dan Siti MAyang anak gadisnya merasa disaingi oleh Mah Bongsu. Oleh karena itu,untuk mengetahui rahasia Mah Bongsu kaya mendadak, hampir setiap malam Mak Piah mengintip. “ Ada ular sebesar betis?” bisik Mak Piah. Dari  terkelupas, dibakar dan asapnya bisa mendatangkan harta karun ?” bisiknya lagi. “Hem, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar betis,” ujar Mak Piah. Mak Piah masuk hutan belantara mencari ular yang dimaksud. Mak Piah mendapatkan ular berbisa sebesar betis. “ Dari ular berbisa ini , pasti akan mendatangkan harta karun yang lebih banyak yang di dapat Mah Bongsu. Ular berbisa itu segera dibawa pulang. Pada malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “ Saya takut! Ular melilit dan menggigitku !” teriak Siti Mayang ketakutan. “ Anakku. Jangan takut. Bertahanlah. Ular itu kelak akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah penuh kesabaran.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu makin menyayangi ularnya. Saat ia menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia dibuat terkejut,” Jangan terkejut.Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang pandai berbahasa manusia. Ular segera diantar Mah Bongsu ke sungai tempat pertemuan pertama. Setelah tiba di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, aku ingin membalas budi yang setimpal dengan apa yang kau berikan kepadaku,”ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi istriku yang sah. Mah Bongsu tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular itu menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah Bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa” Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.
Diceritakan bahwa pesta perkawinan Mah Bongsu dengan pemuda tampan itu belangsung meriah selama tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti- hentinya bagai air mengalir. Di balik semua itu, keadaan keluarga Mak Piah  yang tamak dan loba, sibuk menerima ucapan bela sungkawa atas meninggalnya Siti Mayang karena dipatok ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda tampan dan gagah perkasa itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”. Sampai saat ini banyakl orang yang membasuh muka bahkan berendam di sungai itu. Mereka mengharapkan untuk bisa mengikuti jejak Mah Bongsu yang mendapatkan jodoh dan mendpatkan harta melimpah, setelah membasuh dan berendam di sungai jodoh.

D
emikianlah adik- adik. Ternyata sikap  tamak dan loba akan dapat merugikan diri sendiri. Sedangkan sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesame yang membutuhkan, akan dapat memetik hasil yang membahagiakan.

Lutung Kasarung


D
ahulu kala, di tanah Sunda terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Kerajaan Pasir Batang. Pada saat itu yang memerintah kerajaan bernama Tapa Agung. Ia dikaruniai tujuh puteri yang cantik jelita, namun Raja Tapa Agung merasa ada ganjalan dihatinya, siapakah kelak yang akan dapat menggantikan kedudukannya sebagai Raja untuk mengendalikan Kerajaan Pasir Batang dengan damai.

Raja dan permaisuri tak habis- habisnya bermusyawarah, tetapi tetap tidak ada hasilnya, karena setelah diteliti dari tujuh puterinya, ternyata belum ada yang pantas memegang tampuk Pemerintahan Kerajaan Pasir Panjang.

Tujuh Puteri Raja itu bernama Putri Purbaarang, Putri Purbajati, Putri Purbasekar, dan Putri ketujuh atau bungsu bernama Putri Purbasari Ayuwangi. Putri Purbasari Ayuwangi lain dengan kakak- kakaknya. Ia memiliki kecantikan yang terpancar langsung dari hatinya. Parasnya memang tidak secantik keenam saudaranya, namun kebaikan hati Putri Purbasari Ayuwangi tampak cemerlang di wajahnya. Purbasari Ayuwangi memiliki kecerdasan yang hanya dapat ditandingi oleh kakak sulungnya Putri Purbaarang.

Pada hari yang telah ditentukan, Raja Tapa Agung mengumumkan pengunduran diri sebagai pemimpin kerajaan. “Dengan ini, Aku umumkan kepada seluruh rakyat negeri di negeri Pasir Batang, bahwa pada hari ini aku meletakkan jabatan sebagai Raja kerajaan Pasir Batang,” ungkap Raja Tapa Agung kepada seluruh rakyat Pasir Batang.
Tanpa diduga seluruh rakyat negeri Pasir Batang menunjuj Putri bungsu Putri Purbasari Ayuwangi sebagai pengganti Raja Tapa Agung. Inilah yang membuat  iri kakak-kakaknya, terutama Putri sulung Purbaarang.
“Aku harus bisa menggagalkan Purbasari Ayuwangi memimpin negeri Tapa Agung,”gumam Putri Purbaarang.
Pada suatu malam Putri Purbaarang melaksanakan niat jahatnya itu. Putri Purbaarang mengendap-endap memasuki bilik Putri Purbasari Ayuwangi yang sedang tertidur lelap. Sebuah tempurung kelapa berisi getah nangka dibalurkan ke seluruh tubuh Putri Purbasari Ayuwangi. Setelah getah nangka tempurung habis, kemudian Putri Purbaarang segera meninggalkan Purbasari Ayuwangi sambil tersenyum.

Keesokkan harinya, saat Putri Purbasari Ayuwangi terbangun. Betapa terkejutnya Putri Ayuwangi melihat seluruh tubuhnya menjadi hitam legam. “Oh, apa yang terjadi pada diriku? Aku menjadi seekor kera hitam!” keluh Putri Purbasari Ayuwangi. Saat itu, seluruh rakyat negeri Pasir Batang menjadi gempar dengan adanya kera hitam di dalam istana. Para pengawal kerajaan siap siaga, bila terjadi hal- hal yang tidak diinginkan. Mereka tidak tahu, siapa sebenarnya seekor kera hitam itu.
Meskipun Putri Purbasari Ayuwangi telah menyakinkan bahwa dirinya bukan seekor kera, tapi tak seorang pun mempercayai ucapannya. Justru mereka sudah memasang anak panah untuk dihujamkan ke tubuh kera hitam itu.
“Usir kera itu ! Aku tidak mau istana kerajaan ini diinjak-injak makhluk buruk itu!” seru Putri Purbaarang dengan lantang.
Pada saat itu Putri Purbaarang telah menjabat sebagai pemimpin negeri Pasir Batang, karena kekuasaannya itu, maka ia memerintahkan para pengawal kerajaan untuk membuang Putri Purbasari Ayuwangi yang telah berubah wujud itu ke tengah hutan,. Putri Purbasari Ayuwangi merintih minta belas kasihan, tapi tak seorang pun mau mendengar.
Di dalam hutan, Putri Purbasari Ayuwangi bertemu dengan seekor makhluk yang sangat buruk.
“Jangan takut, Putri, hamba hanyalah seekor lutung,” kata makhluk itu menjelaskan. Putri Purbasari Ayuwangi pun hilang rasa takutnya, karena Lutung itu tidak berbahaya dan mau melayani Puteri Purbasari Ayuwangi.
Lutung Kasarung berusaha mencari daun- daunan sebagai obat untuk mengembalikan kecantikan Putri Purbasari Ayuwangi seperti semula. Benar juga, setelah daun- daunan itu digosok-gosokkan ke tubuh Putri Purbasari Ayuwangi itu, seketika itu juga Putri Purbasari Ayuwangi kembali seperti semula.
Persahabatan Putri Purbasari Ayuwangi dengan Lutung Kasarung semakin akrab. Pada suatu hari, Lutung Kasarung bersemedi, tiba- tiba tampaklah sebuah istana megah dihadapan Putri Purbasari Ayuwangi. Nama kerajaan itu  Cupu Mandala Ayu. Putri Purbasari menjadi pemimpin kerajaan Cupu Mandala Ayu, rakyatnya  adalah para penduduk yang tinggal di sekitar hutan.

Kerajaan Cupu Mandala Ayu menjadi kerajaan yang aman dan sejahtera. Banyak penduduk dari kerajaan Pasir Batang pindah ke negeri Cupu Mandala Ayu. Mereka mengetahui, bahwa pemimpin Kerajaan Cupu Mandala Ayu adalah Putri Purbasari Ayuwangi, seorang putrid kesayangan Kerajaan Pasir Batang.
“Aku harus bisa membunuh pemimpin negeri Cupu Mandala Ayu,”geram Putri Purbaarang. Lalu Putri Purbaarang mengadakan tantangan yang ditujukan kepada Putri Purbasari Ayuwangi. Namun Putri Purbasari Ayuwangi menanggapi dengan penuh kesabaran. Justru Lutung Kasarung membuka kelicikan Putri Purbaarang kepada Putri Purbasari Ayuwangi pada waktu itu. Putri Purbaarang kemudian menjadi malu bukan kepalang. Kemudian Putri Purbaarang menawarkan Putri Purbasari Ayuwangi untuk menjadi Ratu di kerajaan Pasir Batang, tetapi ia mengajukan syarat Putri Purbasari Ayuwangi harus sudah mempunyai tunangan. Saat itu Lutung Kasarung menawarkan diri menjadi tunangan Putri Purbasari Ayuwang.
“Ya, aku bersedia,”jawab Putri Purbasari Ayuwangi dengan mantap menerima tawaran itu.

Seketika itu juga, petir menggelegar membelah angkasa. Kata- kata sederhana yang keluar dari Putri Ayuwangi sanggup mengalahkan kutukan Dewata. Tubuh Lutung Kasarung bercahaya, kulitnya terkelupas seketika, ia berubah menjadi seorang kesatria tampan. Dialah Pangeran Guriang.
“Kini engkau telah mempunya tunangan, dengan begitu Kerajaan Pasir Batang kuserahkan kepadamu,” ucap Putri Purbaarang pasrah.
Didampingi Pangerang Guriang, Putri Purbasari Ayuwangi mulai membangun kembali kerajaan Pasir Batang.

Kini, rakyat Pasir Batang hidup bahagia dan sejahtera.

S
ifat iri dan dengki adalah tindakan yang tidak terpuji. Putri Purbaarang iri dengan Putri Purbasari Ayuwangi. Namun setelah kedoknya terbongkar, ia akhirnya mau mengakuinya dan menyerahkan hak Putri Purbasari Ayuwangi. Adik- adik, jauhi sikap iri dan dengki ya…

Tanjung Menangis


A
dik- adik, dahulu kala di Pulau Halmahera, kepulauan Maluku ada sebuah kerajaan besar, Rajanya belum lama meninggal dunia. Ia meninggalkan dua anak laki – laki dan satu anak perempuan. Mereka bernama Baginda Arif dan Putra Baginda Binaut dan Putri Baginda Nuri. Putra Baginda Binaut sangat menginginkan kedudukan sebagai raja untuk menggantikan ayahnya. Keinginan itu disampaikan kepada Patih Kerajaan.
“Aku harus menggantikan kedudukan ayahku,” kata Binaut dengan penuh keyakinan. Agar sang Patih ikut mendukung rencana tersebut, maka Binaut memberi janji bahwa jabatan Sang Patih akan tetap dipertahankan, dan ia akan diberi hadiah emas berlian. Berkat bujuk rayu dan janji itulah, Sang Patih bersedia mendukung Binaut menjadi Raja.

Sang Patih segera mengatur para pengawal kerajaan untuk bertindak menangkap Sri Baginda Ratu, Putra Baginda Arif dan Putri Baginda Nuri. Setelah ditangkap, merka dijebloskan di penjara dalam tanah.
“Kanda Binaut benar – benar kejam!” umpat Putri Baginda Nuri dengan penuh emosi. Namun, Sri Baginda Ratu meminta Nuri bersabar dan tabah dalam menghadapi cobaan ini.
“Yang benar akan tampak benar, dan yang salah akan tampak salah. Dan yang salah itu kelak akan mendapat hukuman yang setimpal,” kata Sri Baginda Ratu menghibur dengan penuh keibuan, betapapun sangat sakit hati melihat kekejaman putra kandungnya.

Binaut merasa lega setelah Sri Baginda Ratu , Putra Baginda Arif dan Putri Baginda Nuri dijebloskan ke penjara. Ia mengumumkan kepada rakyat kerajaan bahwa Sri BAaginda Ratu  dan putra-putrinya mengalami musibah di laut. Saat itu pula, Putra Baginda Binaut minta kepada para pembesar Istana untuk segera dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Padahal yang sebenarnya berhak menjadi raja adalah putra sulung, yaitu Putra Baginda Arief.
“Akulah raja yang resmi memerintah negeri ini,” kata Sri Baginda Binaut, setelah dilantik menjadi raja. Sri Baginda Binaut bersikap angkuh dan tinggi hati. Ia menganggap sebagai raja yang paling berkuasa di muka bumi ini.
Demi kepentingan dirinya, Ia memerintahkan kepada seluruh rakyat kerajaan agar bekerja giat untuk membangun istana megah. Selain itu diberlakukan berbagai pungutan pajak, diantaranya pajak hasil bumi, pajak hewan, pajak rumah dan pajak kepala.
“Bukan main! Raja Binaut penghisap dan penindas rakyat !” kata salah seorang penduduk kepada yang lain. Mereka pun mengeluh dengan peraturan yang dikeluarkan Raja Bianut yang sangat merugikan rakyat. Tetapi mereka takut membantahnya, apalagi berani melawan perintah raja, pasti kena hukuman berat.

Tersebutlah seorang pelayan istana raja yang bernama Bijak. Ia melarikan diri dari istana dan membentuk sebuah pasukan tangguh melawan Raja Binaut. Paling tidak, merka dapat membebaskan Sri Baginda  Ratu dan putra- putrinya.
“Kita harus segera bertindak menyelamatkan mereka,” kata Bijak dengan penuh harap. Hal ini didukung oleh teman- temannya.
Waktu itu, banyak para pengawal istana yang telah membelot bergabung dengan Bijak. Bijak pun telah mempelajari bagaimana mengadakan penyelamatan itu. Bila penyelamatan berhasil, direncanakan mengadakan penyebrangan ke istana Raja Binaut.

Berkat kepemimpinan Bijak, dalam sekejap mereka berhasil menyelamatkan Sri Baginda Ratu dan  putra- putrinya yang dipenjara Binaut. Mereka langsung dibawa ke hutan.
“Kucapkan terima kasih tak terhingga,” ucap Sri Baginda Ratu denga tersendat. Mereka tampak kurus kering, karena selama dipenjara jarang makan dan minum. Bijak pun menyampaikan kepada Sri Baginda Ratu akan mengadakan penyerangan ke istana. Tetapi, Sri Baginda Ratu tidak setuju. Ia tidak mau istana berlumuran darah bangsanya sendiri. Ketamakan, kebengisan, iri dan dengki akan kalah dengan doa permohonan yang disampaikan kepada Tuhan.

Raja Binaut berlaku semena- mena terhadap rakyatnya. Sang Patih yang selalu mendukung keputusan Raja Binaut pun tampak tidak senang dengan perilaku raja.Tetapi ia tidak berani mengeluarkan sikap yang melawan. Kalau itu dilakukan pasti ia langsung dipecat dan dijebloskan ke dalam penjara. Saat itu penjara penuh dengan tahanan.
“Siapa yang melawan raja, hukuman penjaralah tempatnya,”itulah kesombongan Raja Binaut. Ia merasa paling berkuasa.

Namun tidak disangka dan tidak diduga, sebuah bencana alam pun terjadi, Sebuah gunung meletus dengan cara yang dasyat. Lahar panas pun mengalir ke segala penjuru. Seluruh bangunan istana dibuanya luluh lantak, padahal istana itu baru dibangun dari hasil keringat rakyat. Raja Binaut kebingungan mencari perlindungan. Ia lari pontang-panting, tak tahu arah tujuannya. Aneh bin ajaib. Lahar panas seolah- olah menegjar kemana pun Raja Binaut lari.
“Tolong!Tolong!” teriak Binaut. Sedikit demi sedikit lahar panas itu mulai menempel di kaki Binaut. Seketika itu juga kakinya melepuh dan kulitnya terkelupas. Ia berusaha tidak berhenti untuk lari. Lahar panas mulai menjalar ke tubuhnya. Ia sangat tersiksa. Dari kejauhan dilihatnya sebuah lautan lepas. Ia segera lari ke sana, dengan harapan di lautan itulah lahar yang mengejar akan berhenti. Tetapi lahar panas tetap mengikutinya. Ketika ia mengalami siksaan lahar panas itu ia ingat ibunya. Ia mohon ampun.

“Ampunilah aku,bu!” Maafkan aku,bu! Aku sudah tidak kuat menanggung penderitaan ini ! Aku tidak mau berkhianat kepada ibu, kak Arif dan adik Nuri. Maafkan aku! Ibu! Ibu !”teriak Binaut karena kesakitan. Namun teriakan itu hilang perlahan- lahan dan akhirnya ia meninggal. Jasad Binaut terdampar di sebuah pantai. Seketika itu juga tempat itu berubah menjadi sebuah Tanjung.
Konon, tanjung itu sering ada orang menangis minta belas kasihan karena mengalami siksaan yang amat sangat. Kini tempat terdamparnya Binaut itu dinamakan, Tanjung Menangis.

N
ah, adik- adik. Demikianlah kisah seorang yang mempunyai sifat iri dan dengki. Pasti akan celaka. Hendaknya adik- adik menjauhi sifat seperti itu ya. Jangan memperlakukan orang lain semena- mena seperti Binaut itu. Karena suatu saat ia pun akan mendapat pembalasan yang setimpal. Jadi adik- adik, bertindaklah hati- hati.