A
|
dik- adik,
alkisah pada waktu Aji Saka belum menjadi raja, di Medang Kamulan, beliau
pernah tinggal di rumah janda Dadap Sari. Beliau pernah membuang air kecil di
dekat lumbung padi milik janda tua itu. Lantas air seni itu terhirup oleh
seekor ayam betina yang kehausan.
Kemudian bertelurlah ayam betina itu. Telurnya hanya sebutir, tetapi sangat
besar. Berbulan – bulan ayam betina itu mengerami telurnya. Setelah genap satu
tahun, barulah telur menetas. Ternyata yang keluar seekor ular kecil. Namun dalam
waktu singkat ular tersebut tumbuh menjadi besar dan panjang sekali, seekor
ular raksasa.
Penduduk Medang
Kamulan gempar dan mereka beramai- ramai
ingin membunuh ular raksasa itu.
“Hai, rakyat
Medang Kamulan, jangan bunuh aku ! Aku tidak akan mengganggu kalian. Aku adalah
anak Aji Saka yang bergelar Prabu
Jaka,”kata ular raksasa itu seraya mendesis.
Sang Ular
raksasa segera menghadap Prabu Jaka.
“Hai ular buruk
rupa, jangan lancing ! Kau bukan anakku !” sangkal Prabu Jaka.
“Aku belum
pernah kawin dengan wanita mana pun. Karena itulah aku digelari Prabu Jaka!”
tambahnya. Ular raksasa itu menunduk dan memberi hormat kepada ayah kandungnya.
Lalu ular raksasa itu pun menceritakan asal- usulnya. Prabu Jaka terkesima
mendengar uraian ular raksasa yang disampaikan dengan halus dan sopan.
Prabu Jaka mulai
sadar bahwa ucapan ular raksasa itu benar. Akhirnya Prabu Jaka bersabda,” ular
raksasa, aku tidak mau menerima atau menolak dirimu. Buktikan dulu pengakuanmu
itu melalui perjuangan !” Ular raksasa itu pun menyanggupi apa yang
diperintahkan Prabu Jaka. Ia harus berhasil membunuh buaya putih jelmaan Dewata
Cengker yang kini mendiami Laut Selatan. Bila berhasil membawa kepalanya sang buaya putih, barulah
si ular raksasa diakui sebagai anak Prabu Jaka. Namun jika tidak berhasil, ia
akan segera dicincang oleh rakyat Medang Kamulan. Adapun buaya putih sangat
menyengsarakan rakyat di Pantai Selatan. Tiap hari selalu ada orang yang
menjadi santapannya.
Untuk
melaksanakan syarat yang diajukan Prabu Jaka, ia harus melakukan perjalanan
yang sama seperti yang dilakukan Prabu Jaka ketika Prabu Jaka ketika sampai di
negeri Medang Kamulan. Baik saat menuju ke Pantai Selatan maupun sewaktu
pulang. Tiba- tiba ular raksasa itu masuk ke dalam tanah. Lalu lenyap dari pandangan.
“Bagaimana pun
hebatnya ular raksasa itu, ia tidak akan mungkin berhasil melaksanakan tugas berat itu, “ pikir Prabu Jaka
disinggasananya.
Si ular raksasa
yang ingin diakui sebagai anak Prabu Jaka itu, telah tiba di pantai. Ia
langsung dihadang buaya putih yang membuka mulutnya lebar- lebar dan siap menerkam mangsanya.
“Buaya putih !
Jangan terus- menerus menyengsarakan rakyat yang tak bedosa ini !” seru ular
raksasa membahana.
“Kalau berani,
makanlah aku !” tantang ular raksasa. Mendapat tantangan itu, biaya putih itu
marah sekali. Beberapa saat kemudian terjadilah pergumulan yang sangat hebat di
PAntai Selatan. Buaya putih mengandalkan
hantaman ekornya yang panjang, keras,
dan berduri seperti gergaji. Ular raksasa mengandalkan tenaga belitannya yang sanggup meremukan batu
sekeras apa pun.
Mula- mula
mereka bertempur di samudera. Ular raksasa merasa agak kewalahan bertempur di
lautan bebas, karena tenaga buaya putih sangat luar biasa. Kemudian ular
raksasa memancing lawannya supaya melanjutkan pertempuran di darat. Ular
raksasa pura- pura melarikan diri ke darat.
“Hai ular
pengecut, kucincang kau ! teriak buaya putih sambil mengejar ular raksasa ke
darat.
Setelah mereka
berada di darat, tiba- tiba ular raksasa berbalik menyerang lawannya. Terjadilah
pergulatan seru. Mereka bertarung mati-
matian.
Di darat, ular
raksasa lebih unggul. Buaya putih menyaari hal itu. Ia berusaha melanjutkan
pertarungan di lautan lagi. Ular raksasa tidak mau membuang- buang waktu. “
Sekarang saatnya kau mati dalam belitanku !” geram ular raksasa sambil membelit
tubuh buaya putih dengan gesitnya.
“Ampun, ampun ! Lepaskan aku!”pekik buaya putih dalam belitan ular raksasa. Namun ular raksasa itu tidak mau melepaskan belitannya, bahkan belitannya semakin kuat. Buaya putih menggelapar-gelapar. Akhirnya ia mati dengan tubuh luluh lantak. Kemudian ular raksasa menggigit leher lawannya sampai putus. Ular raksasa langsung masuk ke dalam tanah, sambil membawa kepala buaya putih di mulutnya.
“Ampun, ampun ! Lepaskan aku!”pekik buaya putih dalam belitan ular raksasa. Namun ular raksasa itu tidak mau melepaskan belitannya, bahkan belitannya semakin kuat. Buaya putih menggelapar-gelapar. Akhirnya ia mati dengan tubuh luluh lantak. Kemudian ular raksasa menggigit leher lawannya sampai putus. Ular raksasa langsung masuk ke dalam tanah, sambil membawa kepala buaya putih di mulutnya.
Dalam perjalanan
pulang ke Medang Kamulan, ular raksasa mempergunakan jalan di bawah tanah.
“Oh, apakah aku
salah arah ?”ular raksasa bertanya kepada dirinya sendiri. Berkali- kali ular
raksasa itu muncul di permukaan tanah, mengira
sudah tiba di Medang Kamulan,
tetapi ternyata ia muncul di tempat
lain. Ia bingung dan tersesat.
Konon , sejak
saat itulah di daerah Jawa Tengah timbul beberapa mata air baru, dari bekas
lubang munculnya ular raksasa itu. Airnya asin, karena mengalir dari laut
selatan sesuai jalur perjalanan pulang ular raksasa.
Sementara itu
Prabu Jaka mengira nahwa ular raksasa telah mati dibunuh buaya putih. Tiba-
tiba seorang hulubalang datang menghadap. “Ampun, Gusti Prabu. Ular raksasa
sudah tiba di Medang Kamulan.”
Prabu Jaka
terperanjat. Kemudian ia langsung menemui ular raksasa. Ular raksasa membuka
mulutnya lebar- lebar, lalu memuntahkan kepala buaya putih tepat di depan Prabu
Jaka.
“Hamba linglung
atau bingung dalam perjalanan pulang, sehingga
terlambat datang di Medang Kamulan ini,”kata ular raksasa penuh hormat.
Prabu Jaka terpaksa mengakui ular raksasa sebagai anaknya.
“Mulai sekarang
kau boleh tinggal di istana,” kata Prabu Jaka kepada anaknya. Sejak saat itu
ular raksasa tinggal di istana Medang Kamulan. Namun, ia tidak lama tinggal di
istana. Prabu Jaka menganjurkan agar ular raksasa bertapa di hutan Klampis.
Ular raksasa patuh kepada perintah ayahnya. Ia bertapa di hutan itu dan
kemudian dikenal dengan nama Pangeran Klampis. Rakyat Medang Kamulan merasa
lega Pangeran Klampis meninggalkan istana kerajaan. Mereka sangat takut akan
kehadiran Pangeran Klampis yang berwujud ular raksasa.
K
|
esulitan sebesar
apapun dapat kita hadapi, asalkan mau berusaha dan mempunyai kekuatan yang
mantap. Jangan berhenti berusaha, sampai mendapat apa yang kita cita- citakan.
Marilah kita hadapi tantangan dengan terus berjuang tanpa kenal lelah. Itulah
inti kisah cerita ini, adik- adik.
0 komentar:
Posting Komentar