A
|
dik- adik, di
daerah pedalaman pulau Bali terdapat sebuah desa yang subur makmur, aman dan
damai bernama desa Tenganan. Namun, pada suatu ahri penduduk desa
dikejutkan oleh kedatangan seorang
lelaki yang berpakaian compang- camping seperti layaknya pengembara yang
kehabisan bekal.
“Siapakah namamu
! Dari mana asalmu ?” tanya seorang pemuka masyarakat bernama Jero Pasek
Tenganan. “Nama saya I Tundung. Saya orang miskin, tidak mempunyai tempat
tinggal tetap,”jawab lelaki yang mengaku bernama I Tundung itu.
Jero Pasek Tenganan merasa iba melihat keadaan I
Tundung. Lantas ia memberikan makanan dan minuman secukupnya. Ucapan terima
kasih tak henti- hentinya disampaikan I Tundung kepada Jero Pasek. “ Maaf,
tuan. Kalau tuan berkenan, saya ingin mengabdikan diri kepada tuan,” pinta I
Tundung kepada Jero Pasek Tenganan.
“Pekerjaan apa pun yang tuan berikan, akan saya kerjakan dengan senang hati,”
tambah I Tundung. Karena kasihan Jero Pasek menerima permintaan I Tundung.
Maka, mulai saat itu I Tundung tinggal di rumah Jero Pasek.
I Tundung sangat
rajin bekerja. Selain bercocok tanam di sawah dan dan di lading, ia pun
memelihara ternak. Hasil garapannya sangat memuaskan.
“Mmh, dia
mempunyai tangan yang dingin. Sehingga tanaman apa pun yang ia tanam tumbuh subur
dan hasilnya melimpah,”kata seorang petani kepada temannya.
“Dan ia
mempunyai bakat beternak. Sehingga ternak jenis apa pun cepat gemuk dan beranak
pinak,”ucap teman petani itu.
Melihat hasil
kerja yang belimpah itu, I Tundung tidak sombong. Ia bahkan menularkan ilmu
taninya kepada petani lain. Pada suatu hari, Jero Pasek memanggil I Tundung.
“Melihat hasil
pekerjaanmu, aku akan menyerahkan sebidang tanah di Bukit Kangin. Tanah itu
tandus dan gersang, sehingga tidak ada orang yang mau mengolahnya,”kata Jero
Pasek kepada I Tundung.
“Aku yakin, kau
mampu menggarapnya dan hasilnya pun melimpah,”tambah Jero Pasek.
I Tundung diberi
kepercayaan oleh Jero Pasek itu dan ia tidak menyia-nyiakannya. Sejak saat
itu I Tundung pindah tempat tinggalnya
di Bukit Kangin. Ia menggarap lahan yang tandus dan gersang itu bukan hanya
tenaga yang digunakan, tetapi akal. I Tundung melihat ada sebuah mata air di
lereng gunung.
“Aku akan
mengalirkan mata air itu ke mari. Dengan begitu akan lebih mudah menggarap
lahan ini,” gumam I Tundung penuh dengan keyakinan. Dengan sekuat tenaga,
akhirnya air dari mata air dapat dialirkan ke Bukit Kangin. Ia mulai bercocok
tanam, mulai dari padi, jagung dan sayur mayur.
Tibalah saat
panen. Hasilnya melimpah ruah, Jero Pasek memuji keberhasilan I Tundung itu.
“Aku sangat
bangga dengan usahamu yang tak kenal lelah. Kau bisa membuktikan kecakapanmu
bertani. Maka mulai saat ini, kau kuberi
tugas untuk menggarap lahan di seluruh bukit,”kata Jero Pasek kepada I Tundung.
Ternyata I Tundung pun kembali dapat menggarap seluruh lahan di Bukit Kangin
menjadi tanah pertanian dan peternakan yang maju.
Setelah Jero PAsek dan I Tundung menikmati hasil dari lahan di Bukit Kangin, terjadilah musibah. Hampir setiap malam hasil pertanian itu banyak yang hilang. Bukan hanya itu. Ternak yang dipelihara di lahan itu pun, satu per satu hilang dari kandangnya. Betapa pun I Tundung sudah sekuat tenaga menjaganya, namun tetap saja terjadi pencurian.
“Aku sangat
kecewa dengan kejadian yang sangat merugikan itu. Mungkin, kau sudah bosan
merawat atau menjaga lahan pertanian dan ternak, sehingga sering terjadi
pencurian itu,” kata Jero Pasek kepada I Tundung. Tentu saja perasaaan hati I
Tundung tersinggung mendengar ucapan Jero Pasek itu.
I Tundung merasa
sangat malu dengan Jero Pasek, karena tidak bisa mengatasi pencurian yang
berada di lahan garapannya. Setiap malam ia merenung sambil memutar otak
bagaimana caranya mengatasi pencuri yang lihai itu. Di tengah malam yang
hening, I Tundung masuk ke sebuah pura
yang bernama Pura Naga Sundung. Di sana ia berdoa dengan khusuk memohon kepada
Sang Hyang Widi dapat membantunya
mengatasi pencuri yang sangat merugikan itu. Tiba- tiba ia dikejutkan oleh
suara gaib yang terngiang- ngiang di telinganya.
“Permohonanmu kukabulkan, asalkan kau mau mengikuti perintahku,”bunyi suara gaib. Kau harus rela mati berubah menjadi ular hitam,”tambah suara gaib itu.
“Jadikanlah diri
hamba ini apa saja, asalkan hamba dapat
menghapus rasa malu dan dapat mengabdi kepada tuan Jero Pasek,”ucap I
Tundung. Setelah mengucapkan kata-kata itu, I Tundung merasakan kaki dan
lehernya bertambah panjang dan berubah menjadi seekor ular hitam yang besar.
Pada suatu hari,
Jero Pasek ingin menemui I Tundung di lahan Bukit Kangin, namun lelah sudah ia
menyusuri seluruh bukit, ternyata ia tidak menemukan I Tundung. Tibalah ia di
Pura Sundung. Betapa terkejutnya, ia melihat seekor ular hitam legam besar yang
sangat besar.
“Jangan takut,
tuan Jero Pasek. Hamba adalah I Tundung yang sekarang menjelma menjadi ular
hitam. Hamba berjanji tetap akan mengabdi kepada tuan dan bersedia menjaga
lahan Bukit Kangin ini. Bila ada yang berani mencuri hasil lahan dan ternak,
mereka akan kubunuh,”ucap I Tundung yang sudah berubah wujud menjadi seekor
ular hitam legam itu.
Adik- adik, Jero
Pasek sangat terharu mendengar ucapan I Tundung. “Maafkan aku, I Tundung.
Bukannya aku tidak mempercayaimu. Melainkan aku ingin memberi kepercayaan
sepenuhnya kepadamu untuk mengolah, merawat dan menjaga hasil lahan di bukit
ini,” kata Jero Pasek mantap.
“Nah, mulai
sekarang kau kuberi tugas untuk menjaga lahan ini sampai anak
keturunanmu,”lanjut Jero Pasek. Mendengar tugas itu, ular hitam legam yang
dinamai Lelipi Salem Bukit. Lalu secara perlahan-lahan masuk ke dalam semak –
semak. Sejak saat itu Bukit Kangin tidak ada lagi pencurian.
A
|
dik- adik, I
Tundung menunjukkan pengabdian yang tulus sehingga ia mau mengorbankan apa pun
dalam hidupnya kepada Jero Pasek. Ia diberi kepercayaan yang luar biasa atas
apa yang dilakukannya itu oleh tuannya.
0 komentar:
Posting Komentar