RSS

Baru Kelinting


A
dik- adik, alkisah Maharesi gunung Merbabu bernama Sang Ajar Windusana mempunyai  istri cantik bernama Dyah kasmala , putri Raja  Brawijaya. Sang Ajar Windusana senantiasa berkasih- kasihan dengan istrinya, sampai akhirnya sang istri mengandung.
“ Kanda, bolehkah saya pinjam pisau itu? “ kata Dyah Kasmala sambil terkagum- kagum dengan pisau yang berada di tangan Sang Ajar Windusana. “ Boleh, tetapi jangan pisau ini disimpan dekat perut,” pesan Sang Ajar Windusana dengan sungguh- sungguh. Takkala diadakan bersih desa, Dyah Kasmala menggunakan pisau itu untuk membuat  takir. Setelah selesai, diselipkan pisai itu ke dalam semekan ( kemben).

Tiba saatnya bagi Dyah Kasamala untuk melahirkan. Ia sangat terkejut melihat bayi berupa ular dengan sirip pancawarna. Seketika itu juga, Dyah Kasmala menghembuskan nafas terakhir. “ Oh, istriku,” desah Sang Ajar Windusana dengan rasa iba bercampur rasa takut, melihat kejadian yang berada di depan matanya.
“Hei ular!” kau kubuang ke dalam samudera, agar kau mati di sana,” kata Sang Ajar Windusana. Namun, karena kehendak Dewata, sang ular makin bertambah besar, dan bertemu dengan Dewi Angin- Angin di tengah samudera. Dewi Angin – Angin menjelaskan tentang riwayat hidup sang ular.

“Aku harus bertemu dengan ayahku!” seru sang ular. Ia lalu berangkat mencari ayahnya Sang Ajar Windusana dipedepokan gunung Merbabu. Ketika mereka bertemu, ayahnya lupa nahwa sang ular adalah anak kandungnya sendiri, kemudian sang ular diberi nama Baru Kelinting.
“Mulai hari ini, kau kuperintahkan bertapa di tepi samudera !”perintah Sang Ajar Windusana.

Baru Kelinting bertapa mati raga, ia masuk ke dalam sebuah rawa yang terletak di tepi samudera.. Bertahun- tahun, ia bertapa, hingga ia merasa kerasan., badannya tertimbun oleh tanah dan lumut, hingga tidak kelihatan wujud aslinya.” Ha! Ada belut besar!” kata penduduk desa yang menancapkan parang di badan Baru Kelinting, seketika itu juga , darah mengucur tanpa henti, hingga air rawa menjadi merah darah. Tidak lama kemudian para penduduk desa memotong tubuh Bru Kelinting dan dibagikan secara merata.

Sang Ajar Windusana mendengar anaknya telah menjadi korban penduduk desa, ia lalu turun ke pedesaan, dan menyamar sebagai anak kecil berumur empat tahun. Ia minta sepotong daging mentah, namun tak seorang pun memberinya. Akhirnya, ia bertemu dengan seorang nenek tua.
“Oh, nenek tidak punya daging secuilpun,” kata nenek tua itu. Sang Ajar Windusana melihat sebatang lidi yang terselip di dinding, kemudian ia memintanya.

“Hei, teman- teman, aku punya sayembara, kalau ada yang dapat mencabut lidi ini boleh memenggal kepalaku, tapi apabila tidak sanggup, kalian harus memberi sepotong daging mentah kepadaku sebagai tuah!” seru Sang Ajar Windusana yang sudah menyamar sebagai anak kecil itu. Mereka berusaha mencabutnya, tetapi tak seorangpun mampu mencabutnya, kemudian banyak orang dewasa bergantian mencoba mencabut lidi itu, tetapi sia- sia.

“Sudahlah, aku tak mampu mencabut lidi ini,: kata mereka dengan pasrah. Kemudian Sang Ajar Windusana memegang lidi itu sambil melihat ke belakang, tercabutlah lidi itu dengan sangat mudah. Seketika itu juga, keluarlah mata air dengan deras, yang kemudian menjadi air bah yang menggenangi desa- desa sekitarnya. Semua orang mati tenggelam, hanya nenek tua yang selamat, naik lesung serta sebuah centong nasi sebagai alat dayung. Akhirnya ia sampai di daratan dan tinggal di sebuah gunung. Itulah asala- usul terjadinya Rawa Pening di Jawa Tengah.
N
ah adik – adik, Sang Ajar Windusana merasa dirugikan oleh orang lain dengan kematian anaknya yang sebenarnya dibencinya. Namun, sebagai seorang ayah yang mempunyai keturunan, tentunya akan membela mati- matian apabila sang anak diperlakukan dengan semena- mena. 

0 komentar:

Posting Komentar