A
|
dik- adik,
cerita kakak kali ini datang dari Jawa Tengah. Alkisah, di sebuah desa jauh
terpencil yang bernama Trenbanggi, tinggallah seorang janda yang mempunyai anak
gadis bernama Mendut. Mendut seorang gadis yang cantik jelita, bagai sekuntum
bunga yang semakin hari semakin merekah dan mengharumkan. Keharumannya akhirnya
tercium oleh Gusti Adipati Pragola, yang berkuasa di Pati. Beliau sudah berusia
lanjut. Beristri satu dan mempunyai selir lebih dari satu. Namun, rupanya masih
berminat mempunyai selir lagi.
“Bu, saya tidak
mau menjadi selir Adipati Pragola,” kata Mendut kepada ibunya. Ibunya bingung
mendengar ucapan anaknya, karena ia pun tidak berani menyampaikannya kepada
Adipati Pragola. Ia takut kena marah, atau bahkan dihukum oleh Adipati Pragola.
Dengan berat
hati, Ibu Mendut melepas kan anak kesayangannya itu untuk menjadi selir Adipati
Pragola. Di sana, Mendut mendapat tambahan dengan sebutan “ Roro”.
Namun malang
nasib Adipati Pragola. Sebelum ia sempat meresmikan Roro Mendut sebagai selirnya,
tiba- tiba balatentara Mataram datang menggempur.Balatentara Mataram dipimpin
Tumenggung Wiroguno sangat tangguh. Adipati Pragola beserta sejulah pengikutnya
tewas. Ternyata, Tumenggung Wiroguno sangat tertarik akan kecantikan Roro
Mendut. Nyai Ajeng, istri Sang Tumenggung juga setuju jika Roro Mendut
dijadikan selir. Roro Mendut yang mengetahui akan dijadikan selir, segera
menolaknya.
Nyai Ajeng istri
Tumenggung Wiroguno membujuk Roro Mendut agar bersedia menjadi selir suaminya.
“Percayalah
Mendut, engkau bukan hanya diangkat menjadi selir saja. Engkau malah diangkat
menjadi penggantiku. Aku sudah tua, sudah keriput. Kanda Wiroguno meskipun
sudah tua, tetapi semangatnya masih muda. Dari dirimulah diharapkan lahir
keturunan sebagai pewaris kebesarannya,” demikian bujuknya. Tetapi Roro Mendut
tetap ngeri melihat perangai Tumenggung Wiroguno. Ia bagaikan terlepas dari
mulut singa, lalu masuk ke mulut buaya. Roro Mendut terisak menahan tangis
meratapi nasibnya.
“Dasar anak
dusun tidak tahu diuntung !”umpat Tumenggung Wiroguno kesal. Karena marahnya,
Tumenggung Wiroguno mengharuskan Roro Mendut membayar pajak kepadnya, sehari
tiga real. Bila Roro Mendut tidak dapat memenuhinya, maka ia akan dihukum.
Wiroguno sesungguhnya tidak meng
harapkan uang tiga real sehari. Ia hanya
menggertak gadis malang itu. Ia yakin Roro Mendut tidak akan mampu memenuhinya.
Roro Mendut dengan berbesar hati sanggup memenuhi permintaan Wiroguno. Ia lalu
meminjam modal kepada Nyai Ajeng, istri Wiroguno.
Roro Mendut lalu
berjualan rokok. Sunggu tidak disangka, rokok yang dijualnya sangat laris.
Bukan rokoknya yang menarik perhatian, melainkan penjualnya yang cantik nan
rupawan. Rokok Roro Mendut memang mahal, apalagi puntungnya. Semakin pendek dan
basah oleh ludah Roro Mendut, harga punting itu semakin tinggi. Karena
larisnya, Roro Mendut dapat memenuhi permintaan Tumenggung Wiroguno. Setiap
hari ia menyerahkan uang tiga real. Melihat hal itu, Tumenggung Wiroguno
menjadi jengkel. Ia menaikkan pajak yang harus dibayar Roro Mendut menjadi dua
puluh lima real sehari. Ternyata Roro Mendut pun masih dapat menyanggupinya.
Konon, dari
sekian banyak pembeli rokok terdapat Pronocitro, seorang pemuda tampan yang
gemar mengadu ayam. Hati pemuda itu terpaut pada kecantikan Roro Mendut, begitu
pula sebaliknya. Pronocitro juga tak gentar menghadapi Tumenggung Wiroguno.
“Aku harus
mencari jalan keluar untuk menyelamatkan Roro Mendut dari kekejaman
Wiroguno,”pikir Pronocitro. Roro Mendut menganjurkan agar Pronocitro melamar
menjadi abdi Tumenggung Wiroguno. Dengan demikian mereka dapat lebih sering
bertemu untuk melepas kerinduan.
Pronocitro
segera menghadap Tumenggung Wiroguno untuk melamar menjadi abdinya.
“Aku menerima
lamaranmu, dan segeralah bekerja,” kata Wiroguno kepada Pronocitro. Ia resmi
menjadi abdi Tumenggung Wiroguno, Roro Mendut pun menemui Nyai Ajeng. Ia
memberitahukan niatnya untuk berhenti berjualan rokok dan berpura- pura
bersedia menjadi selir Wiroguno. Ini adalah siasat Roro Mendut agar selalu
dekat dengan Pronocitro. Nyai Ajeng sangat senang mendengar keputusan itu.
Namun Roro Mendut meminta untuk menunda peresmiannya dengan alasan menunggu
hari baik. Nyai Ajeng pun setuju.
Pronocitro kini
telah menjadi abdi yang dapat dipercaya. Dengan siasat itu, setiap saat ia
dapat menemui Mendut. “ Dinda Mendut, kita harus keluar dari tempat laknat
ini!” ucap Pronocitro kepada Mendut. Mendut setuju. Mereka mencari kesempatan
yang baik untuk melepaskan diri dari kungkungan Wiroguno. Akhirnya mereka
berhasil lari menuju ke kediaman lurah Nande. Di sana mereka bersembunyi sambil
melepaskan kerinduan yang sangat dalam.
Sementara itu
Tumenggung marah besar ketika mendengar Roro Mendut dan Pronocitro tidak ada di
istananya. “ Kalian tidak becus menjaga Mendut! Sekarang cari mereka sampai
ketemu !”perintahnya kepada semua orang.
Para pengwal
serta para abdi mencari ke segala penjuru. Sebuah pasukan tangguh dipimpin oleh
seorang abdi setia Wiroguno bernama Senopati menelusuri dari rumah ke rumah.
Roro Mendut pun berhasil ditemukan, namun Pronocitro sudah melarikan diri. Saat
itu pula, Roro Mendut langsung dibawa ke hadapan Tumenggung Wiroguno.
Pronocitro juga
terus diburu dan akhirnya tertangkap. Pemuda itu juga langsung dihadapkan
Tumenggung Wiroguno. Saat itu pula, Roro Mendut menjalani hukuman cambuk.
Sedangkan Pronocitro tidak mau tunduk kepada perintah Wiroguno, akhirnya
ditusuk dengan keris bertuah. Pronocitro tidak mengaduh, hanya berkata
tersendat- sendat kepada Mendut, “ Dinda, jagalah dirimu baik- baik.
Percayalah, cintaku akan abadi sampai di alam baka.”
Pada saat
Wiroguno mencabut keris yang tertancap di tubuh Pronocitro, di luar dugaan
Mendut langsung menubruk keris itu sehingga menembus dadanya. Roro Mendut tewas
menyusul pemuda yang dicintainya. Jasad mereka dimakamkan ke dalam satu liang
kubur.
K
|
esetiaan dan
cinta sejati diwujudkan ke dalam suatu pengorbanan yang tiada tara. Ini
dilakukan Pronocitro dan Mendut yang telah membangun kasih sayang bersama.
Cinta sejati tidak pernah kalah oleh ketamakan dan kebengisan.
0 komentar:
Posting Komentar